Jumat 25 Sep 2015 08:25 WIB
Obituari

Kenangan dan Sekelumit Kisah Bang Buyung Naik Haji

Adnan Buyung Nasution
Adnan Buyung Nasution

REPUBLIKA.CO.ID,  Hari Kamis 12 Mei 1994 Bang Buyung , Kak Ria dan keluarganya menuju asrama haji Pondok Gede, dan sebelum berangkat Bang Buyung mencium dua kali ibu mertuanya dan berkata:”Bu, saya naik Haji. Baik-baik ya Bu”, katanya dengan penuh santun dan haru. Ketika akan naik mobil ia mencium lagi ibunya. Sebanyak 4 mobil beriringan mengantarnya menuju asrama haji. Bang Buyung mengenakan peci hitam dan isteri beliau dengan pakaian serba putih dengan didampingi salah satu putranya bernama Rasyid Nasution (dipanggil Aan) yang juga berpeci hitam dan Bang Buyung sedikit bergurau:”ini Kyai Aan” katanya sambil tertawa. Setelah memasuki pintu asrama haji kami melambaikan tangan sebagai tanda mengiringi perpisahan kita dengan Bang Buyung dan rombongan yang akan berangkat menunaikan ibadah haji.

Perjalanan haji Bang Buyung dilakukan dalam waktu dua minggu. Bang Buyung kembali  atau tiba di tanah air/asrama haji  dari perjalanan haji tanggal 26 Mei 1994. Selanjutnya pada hari Sabtu dan Ahad  tanggal 28 dan 29 Mei 1994 saya melakukan semacam wawancara dengan Bang Buyung soal pengalaman hajinya yang sempat saya rekam dalam kaset. Pertama, ia bilang sesampainya di bandara King Abdul aziz Jeddah petugas imigrasinya sangat malas. Bang Buyung kesel dengan pelayanan yang lambat, sebagaimana beliau juga kesal dengan pelayanan hotel yang beliau tempati yang menurut beliau tidak profesional. Bahkan, terhadap pegawai hotel tersebut, beliau sempat “perang mulut” alias berdebat.

Kedua,  ia bilang kecewa dengan ilmuwan Iran Ali Syariati dalam tulisannya. Syariati mengatakan  bahwa dalam proses pelemparan jumroh Ali Syariati menganalogikan seperti melempari agama lain atau melawan agama lain. Bagi Bang Buyung ini keliru, sebab yang dilempari adalah saitan, bukan agama lain. Buyung  cukup berpegang pada QS Alkafirun: agamaku agamaku, agamamu agamamu.

Kedua, karena pada pelaksanaan haji tahun 1994 itu juga terjadi kebakaran tenda di Mina, maka Bang Buyung punya ide agar pelaksanaan haji  dikelola oleh Organisasi Konferensi Islam atau OKI sebagaimana ide beliau ini beliau tulis dan dimuat di harian Kompas tanggal 15 Juni 1994.

Ketiga, Bang Buyung merasa selama haji beliau banyak mendapat pertolongan, kemudahan. Dilindungi atau diproteksi banyak calon haji lainnya ketika sholat, atau tiba-tiba diberi minum air zam-zam oleh orang lain ketika beliau kehausan. Banyak kemudahan saya alami, katanya. Itulah secuil kenangan perjalanan Haji Adnan Buyung Nasution.

Sekitar sebulan yang lalu saya, isteri dan anak-anak bertemu dengan Bang Buyung di rumah sakit Pondok Indah (RSPI) ketika beliau akan sedang cek kesehatan dan cuci darah. Saya minta semua anak-anak untuk salaman dan cium tangan beliau dan saya bilang kalau beliau adalah guru saya. Anak-anak paham.

Namun saya punya hutang kepada beliau. Beberapa tahun terakhir ini Bang Buyung meminta saya mencarikan “guru ngaji” yang pengetahuan Alquran-nya mendalam, namun yang juga memahami teks dan konteks kekinian. Beliau beralasan, ketika kecil disuruh ngaji di tempat ngaji di sekitar alun-alun Jogja oleh orang tuanya ia bandel, malah main sepak bola. Nah, seperti ini akibatnya, kata beliau.

Bang Buyung memang manusia biasa yang punya kelebihan dan kekurangan. Namun amal dan kebaikan almarhum dalam perjuangan penegakan hukum dan pembelaan terhadap kaum tertindas di tanah air tidaklah dapat dipungkiri. Bahkan sampai akhir hayatnya beliau masih berpesan melalui tulisan tangannya untuk membela dan memperjuangkan kaum miskin dan tertindas. Betapa mulianya hati Bang Buyung! Semoga Allah SWT menerima amalnya, mengampuni dosanya dan menempatkannya ditempat terbaik. Selamat jalan Bang...

 

* TM. Luthfi Yazid, pernah menjadi asisten pribadi Adnan Buyung Nasution.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement