Rabu 23 Sep 2015 21:12 WIB

Biaya Abonemen Pun Perlu ’Dikepret’

Arif Supriyono
Foto: dok pribadi
Arif Supriyono

Oleh: Arif Supriyono

Wartawan Republika

Saat itu, pertengahan 1994, menjelang rapat dengar pendapat antara direksi PT Telkom dengan Komisi V DPR yang antara lain membidangi sektor telekomunikasi. Seorang wartawan terlihat menemui anggota Komisi V DPR di luar ruang rapat.

Mereka berbincang sesaat. Sang wartawan lalu menyerahkan selembar kertas berisi catatan dan sepertinya langsung dibaca anggota dewan tadi. Kertas itu lantas dilipat dan dibawa anggota dewan ke ruang rapat. Rupanya kertas itu berisi titipan pertanyaan dari wartawan kepada anggota dewan.

Benar juga, titipan pertanyaan tadi lalu disampaikan oleh anggota DPR saat rapat berlangsung. Intinya, pertanyaan tersebut mempersoalkan pengenaan biaya abonemen (berlangganan) pada pelanggan telepon. Saat itu keberadaan telepon seluler masih sangat terbatas sehingga telepon tetaplah yang menjadi sarana komunikasi utama masyarakat.

Direksi PT Telkom waktu itu menjelaskan, bahwa biaya abonemen dikenakan kepada pelanggan sebagai ganti dari investasi yang harus dikeluarkan PT Telkom. Tak ada pertanyaan lebih lanjut dari anggota dewan atas penjelasan panjang-lebar direksi Telkom kala itu.   

Beberapa pihak saat itu sudah mempersoalkan masalah biaya abonemen tersebut. Rasanya tak masuk akal bila biaya investasi sebuah perusahaan dibebankan kepada pelanggan. Dana investasi sepenuhnya menjadi beban atau urusan sebuah perusahaan. Kebutuhan dana untuk investasi merupakan risiko dari sebuah perusahaan untuk berbisnis di bidang itu.

Kalau dana investasi itu juga dipikul atau dibebankan kepada pelanggan, berarti suatu saat alat atau infrastruktur milik perusahaan itu akan berpindah tangan kepada pelanggan. Nyatanya, itu tak pernah terjadi.

Dalam dunia bisnis, rumusan tarif yang telah ditetapkan oleh sebuah perusahaan, mestinya sudah mencakup seluruh struktur biaya yang harus dikeluarkan oleh perusahaan itu. Dengan demikian, besarnya tarif itu sudah memperhitungkan seluruh biaya --termasuk investasi-- yang harus dikeluarkan perusahaan.

Kita bisa menengok atau membuat perbandingan pada sektor lain. Dalam pembangunan jalan tol misalnya, seluruh komponen biaya sudah pasti menjadi beban dan tanggung jawab pengembangnya.

Tatkala jalan tol itu dibuka dan para pemilik mobil melintasinya, maka tarif yang dikenakan bersifat tunggal, sama sekali tak ada unsur abonemen di dalamnya. Dengan tarif itu pula kelak perusahaan pengelola jalan tol akan menghitung untung-rugi, termasuk kembalinya biaya investasi pada masa sekian tahun ke depan.

Mereka yang menjadi pelanggan dan memiliki kartu deposit (membayar di depan sejumlah nilai tertentu di kartu tol), juga tak dikenakan biaya abonemen tadi. Ini sama juga terjadi jika kita menjadi pelanggan kereta api (commuter line) atau bus dengan jalur khusus (bus Transjakarta). Pengadaan kereta api maupun bus (termasuk pembuatan jalur khusus), sepenuhnya menjadi urusan pengelola/pengembang. Masyarakat hanya dikenakan tarif tunggal, tanpa perlu ada unsur abonemen di dalamnya.

Saya masih ingat saat awal telepon seluler beroperasi di sini. Para pelanggan juga dikenakan biaya abonemen yang harus dibayarkan setiap bulan. Seiring dengan pertumbuhan operator telepon seluler di Indonesia, biaya abonemen ini akhirnya dihapuskan. Memang seperti inilah seharusnya yang terjadi.

Tak seharusnya biaya abonemen itu diberlakukan. Tarif yang ada untuk semua pelanggan semestinya merupakan komponen tunggal yang besar-kecilnya semata-mata hanya tergantung lamanya atau intensitas pemakaian. Makin lama atau makin tinggi intensitas pemakaian, maka akan semakin besar pula tarif yang harus dibayarkan. Kalaupun pelanggan itu tidak menggunakan fasilitas tersebut sama sekali selama sebulan atau bahkan lebih, maka tak ada pula satu sen pun biaya yang dikeluarkan.  

Inilah perhitungan bisnis yang adil dalam urusan penentuan tarif. Dengan landasan pemikiran seperti itu, sudah sepantasnya pemerintah menghapuskan berlakunya biaya abonemen bagi pelanggan apa saja: telepon, listrik, air minum, dan sebagainya.

Adanya biaya abonemen sama artinya dengan pengambilan atau penyedotan dana masyarakat secara tak semestinya oleh perusahaan. Tanpa melakukan aktivitas apa pun, perusahaan sudah mendapatkan pemasukan dari biaya abonemen.

Kita ambil contoh untuk PT Telkom. Saat ini pelanggan Telkom sekitar 15 juta pengguna sambungan telepon. Adapun biaya abonemen yang dikenakan besarnya mencapai Rp 12.500-18.500 (sosial), Rp 20.600-Rp 32.600 (rumah tangga), dan Rp 38.400--Rp 57.600 (bisnis). Bisa jadi hanya dengan berpangku tangan Telkom sudah bisa mendapatkan dana dari biaya abonemen pelanggan sampai ratusan miliar atau bahkan triliun rupiah.

Ini tentu cara berbisnis yang tidak adil bagi masyarakat. Karena itu, sudah selayaknya pemerintah meniadakan biaya abonemen untuk semua kegiatan ekonomi yang melibatkan masyarakat sebagai pengguna jasanya. Apalagi, ini dilakukan oleh perusahaan milik pemerintah yang mestinya memiliki tanggung jawab besar untuk memberi kemudahan atau bahkan membantu terciptanya kesejahteraan bagi masyarakat.

Beberapa waktu lalu Menteri Koordinator Kemaritiman dan Sumber Daya, Rizal Ramli, telah melakukan gerakan ‘rajawali ngepret’ atas Perusahaan Listrik Negara (PLN) dengan tarif tokennya. Rizal memprotes tarif token listrik senilai Rp 100.000 akan tetapi yang digunakan pelanggan listrik hanya Rp 73.000, setelah dipotong biaya administrasi dan pajak penerangan jalan (PPJ). Ini yang membuat Rizal Ramli menuding adanya mafia di balik tarif token listrik yang oleh masyarakat harus dibayar di muka.

Memang tudingan itu lalu dikoreksi Dirut PLN, Sofyan Basir. Menurut Sofyan, dengan harga Rp 100.000, pulsa token listrik itu akan bersisa menjadi Rp 94.000, setelah dipotong uang administrasi Rp 2.000 dan PPJ sekitar Rp 2.000.

Bisa jadi, data yang dipaparkan Rizal Ramli kurang akurat. Namun, di sisi lain, upaya dia untuk memberangus segala bentuk ketidakadilan ekonomi perlu menjadi perhatian seluruh komponen masyarakat. Oleh sebab itu, pengambilan dana masyarakat secara tak benar melalui biaya abonemen, sudah seharusnya ditiadakan.

Momentum inilah yang perlu kita jaga dan teruskan. Senyampang ‘kepretan’ Rizal Ramli masih hangat, maka itu perlu diteruskan dan ditularkan untuk sektor atau bidang lain yang jelas-jelas merugikan masyarakat luas. Kita akan melihat, ada-tidaknya pengaruh ‘kepretan’ sang menteri terhadap tata cara berusaha yang tak adil dan tak beradab.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement