Selasa 22 Sep 2015 14:08 WIB

Gaji Buruh Diusulkan Naik 33,5 Persen

Rep: Agus Raharjo/ Red: Angga Indrawan
 Ribuan buruh melakukan aksi jalan kaki bersama dari bundaran Patung Kuda menuju Istana Negara, Jakarta Pusat, Selasa (1/9).
Foto: Republika/Raisan Al Farisi
Ribuan buruh melakukan aksi jalan kaki bersama dari bundaran Patung Kuda menuju Istana Negara, Jakarta Pusat, Selasa (1/9).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Rumah Diah Pitaloka (RDP) merilis hasil survei soal pengupahan nasional di tujuh kawasan industri di Indonesia. Dari hasil survei tersebut, berdasarkan 60 item komponen Kebutuhan Hidup Layak (KHL) bahwa kebutuhan riil pekerja belum tercukupi. Selain itu, tingkat kesejahteraan buruh masih rendah dengan upah yang diteria hanya di kisaran upah minimum.

Rieke Diah Pitaloka yang juga anggota komisi IX DPR RI ini mengatakan, rata-rata upah minimum buruh hanya sebesar Rp 2.539.755. Dengan upah sebesar ini jika dibandingkan dengan kebutuhan riil buruh masih defisit. Yaitu untuk buruh lajang masih defisit sekitar 13 persen, untuk buruh yang berkeluarga belum memiliki anak defisit 43 persen, untuk buruh berkeluarga dengan 1 anak defisit 89 persen, dan buruh berkeluarga dengan 2 anak defisit sebesar 133 persen.

“Hasil survei pengupahan buruh ini merekomendasikan upah buruh naik sekitar 33,5 persen,” kata Rieke Diah Pitaloka di kompleks parlemen Senayan, Selasa (22/9).

Politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) ini menambahkan, dengan rata-rata gaji sekitar Rp 2,5 juta untuk buruh lajang, maka gaji mereka akan menjadi sekitar Rp 3,3 juta setelah ada kenaikan upah. Menurut Rieke, rekomendasi kenaikan upah buruh ini merupakan hasil survei yang dilakukan pada 28-30 Agustus lalu. Padahal, saat ini kondisi riil di masyarakat sudah mengalami kenaikan lagi.

“Kalau pemerintah tidak bisa menaikkan upah buruh, jalan lainnya adalah penurunan harga di pasar serta tidak ada kenaikan harga energi hingga akhir tahun nanti,” tegas dia.

Direktur Lembaga Analis Kebijakan dan Advokasi Perburuhan (Elkape), German Anggent mengatakan, dari survei yang dilakukan denga sampling probalistik (acak) di pasar-pasar tradisional, pekerja/ buruh yang kost atau mengontrak, serta warung atau pedagang di lingkungan tempat tinggal buruh, didapatkan cara buruh mengatasi defisit upahnya dengan hidup berhemat, mencari pinjaman atau dengan mencari penghasilan tambahan.

Dalam temuan saat survei, pedagang di pasar atau warung lingkungan sekitar tempat tinggal buruh mengaku sering memberi utang pada buruh dalam belanja mereka. Jadi, sangat wajar kalau seorang buruh akan kembali ke warung langganan, karena masih memiliki utang. Selain berutang, banyak buruh yang sudah berkeluarga, si istri ikut bekerja, dan suami masih mengojek atau bekerja serabutan. Hal ini untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari mereka.

“Sebab, buruh digaji harian tapi dibayarkan bulanan, mereka harus memastikan uang harian mereka yang pas-pasan,” kata dia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement