Sabtu 19 Sep 2015 20:12 WIB

Perusahaan Pembakar Hutan Diminta Dicabut SIUP-nya

Menteri LHK, Siti Nurbaya menjelaskan kondisi terakhir kebakaran hutan dan lahan di gedung Manggala Wanabakti Jakarta, Jumat (18/9).  (Republika/Rakhmawaty La'lang)
Foto: Republika/Rakhmawaty La'lang
Menteri LHK, Siti Nurbaya menjelaskan kondisi terakhir kebakaran hutan dan lahan di gedung Manggala Wanabakti Jakarta, Jumat (18/9). (Republika/Rakhmawaty La'lang)

REPUBLIKA.CO.ID, MEDAN -- Pakar Hukum Universitas Sumatera Utara (USU) Prof Dr Syafruddin Kalo, SH, mengharapkan pemerintah segera mencabut surat izin usaha perdagangan sejumlah perusahaan yang terlibat pembakaran lahan dan hutan di Sumatera Selatan, Riau, dan Kalimantan Tengah.

"Pencabutan Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP) itu bertujuan untuk membuat efek jera bagi perusahaan yang membakar hutan tersebut," kata Syafruddin Kalo di Medan, Sabtu (19/9), ketika diminta tanggapannya mengenai perusahaan yang melakukan pembakaran hutan.

Pembakaran lahan dan hutan negara tersebut, menurut dia, tidak hanya melanggar Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan, tetapi juga telah meresahkan masyarakat. "Sebab, asap yang cukup pekat akibat kebakaran hutan tersebut menimbulkan polusi bagi masyarakat dan juga mengganggu penerbangan di beberapa bandar udara (Bandara) di tanah air," ujar Syafruddin.

Dia menyebutkan, jika pembakaran hutan tersebut, tidak secepatnya diantisipasi oleh pemerintah, maka dikhawatirkan dapat melumpuhkan roda perekonomian nasional, dan operasional penerbangan pesawat.

Sehubungan dengan kebakaran lahan gambut itu, maka pemerintah telah mengerahkan pesawat terbang untuk memadamkan api dengan menyemprotkan air ke lokasi yang terbakar. "Bahkan, personel TNI AD, Polri, BNPB, Satpol PP dan dibantu relawan juga ikut memadamkan lahan dan hutan yang terbakar itu," kata Guru Besar Fakultas Hukum USU itu.

Syafrudidin menambahkan, perusahaan yang terlibat dalam pembakaran hutan tersebut, juga bisa dikenakan melanggar Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH). Perusahaan itu dianggap telah merusak dan mencemarkan lingkungan hidup yang seharusnya tetap dijaga, dilindungi, serta dilestarikan sesuai perjanjian sebelumnya dengan pemerintah.

"Jadi, dalam hal ini perusahaan tersebut, harus ikut bertanggung jawab mengenai kerusakan hutan. Pemilik perusahaan itu, juga dapat dipidana, akibat terjadinya pembakaran lahan dan hutan yang sangat membahayakan," kata Ahli Hukum Agraria itu.

Sebelumnya, Mabes Polri merilis ada tujuh perusahaan yang diduga melakukan pembakaran lahan dan hutan di sejumlah wilayah. Ketujuh perusahaan itu adalah PT BMH, PT RPP dan PT RPS di Sumatera Selatan. Selanjutnya PT GAP, PT NBA dan PT ASP di Kalimantan Tengah, terakhir PT LIH di Riau.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement