REPUBLIKA.CO.ID, JATINANGOR – Saat ini, sudah seharusnya para professional medis, seperti dokter, perawat, bidan, apoteker, dan yang lainnya membutuhkan komunikasi. Melalui jalinan komunikasi yang baik, maka akan sanat mendukung kesuksesan kerja mereka dan kesembuhan pasien.
Itu salah satu benang merah yang terungkap dalam Simposium Nasional Komunikasi Kesehatan pertama di Indonesia yang diadakan rangka memperingati Dies Nataliske 55, Fakultas Ilmu Komunikasi (Fikom) Universitas Padjadjaran (Unpad) di Bale Sawala, Gedung Rektorat Unpad Jatinangor, Rabu (16/9). Acara ini dihadiri juga oleh Menteri Kesehatan Republik Indonesia, Prof Nila Djuwita F. Moeloek sebagai salah satu pembicara dalam simposium tersebut.
Menurut Nila, sektor kesehatan tidak bisa berdiri sendiri. Salah satu hal yang akan sangat mendukung adalah sektor komunikasi. “Komunikasi adalah salah satu jembatan yang bisa bersinergi dengan sektor kesehatan,” ujarnya.
Nila banyak menjelaskan fakta-fakta yang menyangkut dunia kesehatan di Indonesia. Terutama informasi tentang pencapaian Millennium Development Goals (MDGs) yang tahun ini adalah tenggat waktu terakhir bagi Indonesia untuk memenuhi target-target tersebut. Meski tidak terlalu banyak membahas kekisruhan BPJS Kesehatan, namun dia berusaha menjelaskan, bahwa setiap warga negara Indonesia berhak mendapat asuransi kesehatan.
Itu sebabnya, Nila mengungapkan, bahwa komunikasi dan kesehatan harus bisa bersinergi dan berjalan bersamaan. “Tidak melulu komunikasi politik, komunikasi kesehatan juga harus hadir,” ungkapNila.
Rektor Unpad Prof Med Tri Hanggono Achmad menyadari, bahwa dunia kesehatan di Indonesia belum bisa menerapkan komunikasi kesehatan, tapi masih berkutat dalam komunikasi ‘kesakitan’. Itulah sebabnya, kata dia, banyak pasien atau orang-orang sakit di Indonesia lebih memilih untuk berobat keluar negeri dibandingkan berobat di Indonesia.
“Setelah simposium ini selesai saya berharap produk-produk yang dihasilkan bisa bergulir di tengah masyarakat. Tidak hanya masyarakat yang bisa menikmati produk universitas negeri, tapi pihak universitas akan mendapat inspirasi karena masalah-masalah yang dihadapinya tak adanya di tengah masyarakat,” ungkap Tri.
Sedangkan Dekan Fikom Unpad Prof Deddy Mulyana mengatakan, jika dilihat dari aspek komunikasi, para professional medis, seperti dokter, perawat, bidan, apoteker, dan yang lainnya membutuhkan komunikasi untuk mendukung kesuksesan kerja mereka. “Cara dokter melayani pasien di meja saja mampu membuat pasien stress. Ini bukti dari sebuah penelitian loh. Jika dokter ngobrol dengan pasien tanpa meja, tingkat stress itu hanya tinggal 10 persen,” ungkap pakar komunikasi Unpad ini.
Hal ini jugalah yang menjadi satu-satunya alasan banyak pasien dari Indonesia yang lebih percaya untuk berobat di luar negeri. Deddy mengungkapkan. bahwa sebanyak 600 ribu orang Indonesia pergi keluar negeri hanya untuk berobat.
“Di Malaysia contohnya konsultasi kesehatan atau berobat itu tidak harus melulu di tempat praktik dokter atau rumah sakit. Bahkan bisa kafe. Dan mereka tidak selalu memakai pakaian formal dokter pada umumnya. Saya rasa jika dokter-dokter di Indonesia mengurangi kekakuan dengan harus memakai jas putih dan stetoskop di lehernya, saya yakin dunia kesehatan di Indonesia bisa lebih baik,” jelas Deddy.
Menanggapi hal itu, sebagai akademisi dan seseorang yang menggeluti dunia kesehatan, Nila menilai, komunikasi kesehatan adalah studi dan penggunaan strategi komunikasi untuk menginformasikan dan memengaruhi keputusan individu dan masyarakat. Hal ini tentu saja akan memengaruhi kesehatan mereka.
Nila juga menjelaskan, bidang komunikasi dan kesehatan diakuinya sebagai elemen penting dari upaya untuk meningkatkan kesehatan pribadi dan masyarakat. “Komunikasi kesehatan harus berjalan di semua institusi kesehatan,” ujar Nila