Selasa 15 Sep 2015 09:25 WIB

Kebakaran Hutan dan Martabat Bangsa

Arif Supriyono
Foto: dok pribadi
Arif Supriyono

Oleh: Arif Supriyono

Wartawan Republika

Sekitar akhir tahun 2002 --saat bertugas meliput Asian Games di Busan, Korea Selatan-- saya berkenalan dengan wartawan dari Cina. Kebetulan dia menjabat kepala biro kantor berita Cina (Xinhua) di Korsel.

Teman baru saya itu suka bercanda. Sayangnya, saya sudah lupa dengan nama pria kenalan baru saya yang tinggi besar dan ramah itu. Sebut saja namanya Zheng Ma. Hampir setiap bertemu di ruang Media Center, dia selalu menyapa saya.

Suatu ketika, saya sedang bicara dengan teman-teman lain di Media Center saat di teve ada siaran langsung pertandingan tinju. Zheng Ma lalu menghampiri kami dan ikut nimbrung. Saya segera menyapanya dan berkata, bahwa petinju dari Cina sedang berlaga.

Dia membenarkan sembari menambahkan, petinju Cina itu beragama Islam. “Dia berasal dari Provinsi Xinjian. Di provinsi itu mayoritas penduduknya beragama Islam,” tutur Zheng Ma.

Penjelasan Zheng ini seolah menegaskan, bahwa dia paham benar jika mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam. Zheng menambahkan, nama petinjunya itu Abederaheeman.

Mendengar Zheng mengucapkan nama itu, saya langsung menyahut, bahwa nama petinju Cina itu kalau diindonesiakan akan menjadi Abdurrahman. Seketika Zheng membenarkan dan menyahut,” Ya tetapi tanpa Wahid”. Saat itu, presiden Indonesia memang dijabat oleh Abdurrahman Wahid.

Obrolan kami dengan Zheng pun mengalir ke mana-mana. Karena udara di Korsel ketika itu sangat dingin, beberapa teman saya lalu menanyakan banyaknya musim di Cina pada Zheng. Dia menjawab ada empat musim di Cina: semi, panas, gugur, dan dingin.

Sebaliknya, Zheng bertanya pada saya, ada berapa musim di Indonesia? Segera saya jawab, ada dua: musim penghujan dan kemarau. Mendadak Zheng menggelengkan kepala. “Setahu saya ada satu musim lagi,” sahut Zheng.

Tatkala kami sedang bengong menangkap omongan Zheng, dia menukas: satu lagi, musim asap. Teman lain langsung tertawa ngakak. Saya pun, meski dengan rasa masam, terpaksa ikut tersenyum.

Banyak orang Cina yang tahu tentang kabut asap dari Indonesia. Pada saat itu, kabut asap (akibat hutan yang terbakar) dari Indonesia telah terkirim hingga ke Hongkong. Tak heran, warga Cina pun banyak membaca berita soal serbuan asap yang mendekati negaranya.

Walau disampaikan secara bercanda, saya merasakan guyonan Zheng itu telak dan menusuk ulu hati. Ya, betapa tidak? Sejak beberapa tahun sebelum itu, kabut asap akibat kebakaran hutan di Indonesia senantiasa rutin terjadi. Hal yang lebih konyol lagi, kabut asap itu selalu berkelana ke mancanegara. Tak hanya negara tetangga, beberapa negara yang letaknya agak jauh pun ada yang terkena sapuan kabut asap.

Ini tentu pukulan dan peristiwa yang memalukan bagi Indonensia. Adanya kabut asap saja sudah merepotkan kondisi di dalam negeri. Jarak pandang di beberapa wilayah sangat terbatas. Bahkan ada wilayah yang jarak pandangnya hanya sekitar 30-50m.

Kesehatan warga pun menjadi terganggu karenanya. Beberapa kali ada laporan kasus infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) yang menimpa warga. Tak hanya itu, secara ekonomi kabut ini juga sangat mengganggu roda kehidupan.

Distribusi dan alokasi pelbagai komoditas tak bisa selancar biasanya. Transportasi udara ikut menemui hambatan akibat jarak pandang yang terbatas dan bandar udara yang tak beroperasi lantaran tertutup asap pekat.

Daya jangkau serbuan kabut asap memang bisa mencapai ke beberapa negara tetangga. Malaysia, Singapura, Thailand, Filipina, dan beberapa negara lain pernah dan bahkan sering merasakan gangguan ini.

Beruntung mereka tidak menuntut berlebihan akibat serbuan asap dari Indonesia tersebut. Beberapa negara malahan sempat ikut membantu dengan melakukan pemadaman bersama di lokasi terbakarnya hutan kita.

Walau demikian, kondisi ini tak boleh terjadi terus-menerus. Harus ada upaya serius dari pemerintah Indonesia untuk mengurangi tingkat kebakaran hutan dan menghentikannya di masa mendatang. Bila perlu, harus dibuat program serius dengan tahapan serta target yang jelas untuk menghentikan kebakaran hutan tersebut.

Kebakaran hutan --beserta tersebarnya kabut asap-- yang terjadi rutin tiap tahun menandakan banyak hal. Pertama, ini bisa menjadi bukti rendahnya disiplin masyarakat (dan pemilik hak pengusahaan hutan atau HPH) serta minimnya kesadaran mereka akan lingkungan.

Padahal, di era sekarang ini, kesadaran atas lingkungan merupakan faktor penting. Data-data di masa lalu ada yang menunjukkan, pembakaran hutan tak hanya dilakukan oleh masyarakat. Sebagian pemilik HPH juga melakukan hal yang sama untuk membersihkan hutannya.

Kedua, ‘ekspor’ asap kita ke negara tetangga setiap tahun membuktikan tidak sensitifnya kita terhadap kepentingan negara lain. Gangguan kabut asap ini termasuk dalam kategori serius, sehingga pemerintah harus membuat jalan keluar untuk mengatasinya. Biila perlu, pemerintah bisa melibatkan seluruh komponen masyarakat yang terkait dan memahami soal tersebut untuk mencari jalan keluar.

Ketiga, bisa saja negara lain berpendapat bahwa Indonesia tak menganggap ini sebagai hal serius. Buktinya, kejadian demi kejadian selalu berulang dan dalam skala yang tak jua mengecil. Bila tak diindahkan, bukan tak mungkin dunia internasional akan meminta ganti rugi atau denda pada Indonesia.

Keempat, bila ini terus tak teratasi dan senantiasa berulang dari tahun ke tahun, bisa jadi kelak negara lain merendahkan Indonesia. Ketidakmampuan Indonesia mengatasi masalah ini akan dianggap sebagai bentuk merendahkan keberadaan negara lain. Negara kita pun pasti tercoreng dengan bencana ini. Sebagai imbasnya, kelak bukan tak mungkin mereka ganti merendahkan negara kita.

Untuk menjaga kepentingan dalam negeri, keseimbangan lingkungan, dan pergaulan dunia, maka pemerintah Indonesia dengan segala daya upaya harus mampu mengatasi masalah kebakaran hutan tersebut. Kita ingin negara ini tetap bermartabat dan dihargai oleh negara lain karena kita juga peduli atas kepentingan mereka.

Sudah pasti tak mudah mencari cara untuk atau jalan keluar demi mencegah terjadinya kebakaran hutan. Apalagi, wilayah hutan kita sungguh begitu luas. Akan tetapi saya yakin, dengan membahasnya secara serius --bila perlu melibatkan tenaga ahli dari negara lain-- jalan keluar itu akan ditemukan, insya-Allah.  

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement