Senin 14 Sep 2015 15:14 WIB

Jaksa Tolak Keberatan Suryadharma Ali

Mantan Menag Suryadharma Ali di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Senin (7/9).
Foto: Republika/Raisan Al Farisi
Mantan Menag Suryadharma Ali di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Senin (7/9).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Jaksa Penuntut Umum Komisi Pemberantasan Korupsi (JPU KPK) menolak keberatan mantan Menteri Agama Suryadharma Ali dan juga pengacaranya dengan menyatakan bahwa tindak pidana korupsi juga terkait memperkaya orang lain dan bukan hanya menguntungkan diri sendiri.

"Naif kalau menilai tindak pidana korupsi dinilai hanya dari uang yang diterima oleh terdakwa. Hal itu mengkerdilkan korupsi karena korupsi hanya dipandang memperkaya terdakwa saja, bukan memperkaya kader partai, kerabat terdakwa," tegas JPU KPK, Mochamad Wiraksajaya di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Senin (14/9).

"Bukankan sejak 1958 pendiri bangsa ini mempersepsikan bahwa korupsi bukan hanya memperkaya diri sendiri tapi juga kerabat dan orang lain?," katanya.

Dalam perkara ini Suryadharma didakwa memperkaya diri sendiri sejumlah Rp1,821 miliar dan memperoleh hadiah 1 lembar potongan kain Ka'bah (kiswah) serta merugikan keuangan negara sejumlah Rp27,283 miliar dan 17,967 juta riyal (sekitar Rp53,9 miliar) atau setidak-tidaknya sejumlah tersebut sebagaimana laporan perhitungan kerugian Negara dari Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan.

Dalam dakwaan disebutkan bahwa SDA mendapatkan kiswah dari kader PPP Mukhlisin dan pengusaha Cholid Abdul Latief sebagai imbalan karena telah membantu meloloskan 4 rumah pemondokan di Syare' Masyur dan Thandabawi, Mekkah.

Namun menurut Suryadharma, Kiswah tersebut tidak memiliki nilai ekonomis yang dapat memperkaya diri saya. Kiswah tersebut hanya memiliki nilai agama spiritual sehingga menurut Surya, KPK menjebloskan dirinya ke penjara hanya dengan potongan Kiswah.

"Haji merupakan salah satu rukun Islam dan menjadi prestise khusus sehingga tidak jarang orang yang sudah melakukan ibadah haji memberikan gelar di depan namanya bahkan terdakwa keberatan saat tidak ditambahkan gelar haji di depan namanya dalam dakwaan, sehingga ibadah haji juga merupakan prestise," ujar JPU.

Sehingga menurut jaksa ibadah haji seharusnya pun dilaksanakan berdasarkan asas keadilan, akuntabilitas dan prinsip nirlaba jadi bila ada tindak pidana korupsi dalam ibadah haji, maka harus diproses sesuai dengan aturan.

"Rekrutmen PPIH yang koruptif, pemanfaatan sisa kuota haji nasional merupakan perbuatan yang mencederai animo masyarakat yang tinggi khususnya calon haji yang masih dalam antrean," jelas jaksa.

Artinya, proses penyidikan hingga penuntutan oleh KPK merupakan upaya untuk menegakkan keadilan. Suryadharma diancam pidana dalam pasal 2 ayat 1 atau pasal 3 jo pasal 18 UU No 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo pasal 55 ayat 1 ke-1 KUH-Pidana jo pasal 65 ayat 1 KUH-Pidana.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement