Senin 14 Sep 2015 00:42 WIB

Pemkab Bandung Barat Siapkan Rp 76 Miliar Atasi Kasus Kekerasan

Rep: C12/ Red: Winda Destiana Putri
KDRT (ilustrasi)
Foto: Foto : Mardiah
KDRT (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, NGAMPRAH -- Pemerintah Kabupaten Bandung Barat (KBB) pada tahun ini akan menyerahkan bantuan dengan nilai total Rp 76 miliar kepada 1.500 keluarga kurang mampu, atau prasejahtera di seluruh wilayah KBB.

Bantuan tersebut berupa pembenahan infrastruktur, peningkatan perekonomian desa, dan perbaikan rumah tidak layak huni (rutilahu). Sekretaris Daerah Pemerintah KBB, Maman Sulaiman Sunjaya menuturkan, pemberian bantuan tersebut untuk mengurangi angka kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dan kekerasan seksual pada anak. Sebab, saat ini marak terjadi kasus kekerasan dalam rumah tangga dan juga kekerasan seksual pada anak.

Bahkan, ia mengakui, korbannya kebanyakan berasal dari kalangan anak-anak. "Bantuan yang untuk keluarga prasejahtera ini agar taraf hidup mereka jadi meningkat, dan kasus KDRT bisa ditekan," kata dia, belum lama ini. Total anggaran tersebut, akan dikucurkan ke seluruh kecamatan yang membutuhkan.

Menurut dia, maraknya kasus kekerasan tersebut disebabkan karena masih banyak keluarga di KBB yang hidup di bawah garis kemiskinan. Sebab, lanjut dia, kondisi keluarga yang di bawah garis kemiskinan berpotensi menjadi pemicu timbulnya KDRT dan kekerasan seksual pada anak.

"Faktor ekonomi yang menyebabkan terjadinya KDRT, karena peran yang seharusnya dimiliki sebagai keluarga, itu jadi enggak ada. Makanya keluarga yang seperti ini rawan KDRT," tutur dia.

Salah satu upaya pemerintah KBB yang tengah digalakan, yakni program Gerakan Perempuan Membangun (Gempungan). Banyak pihak yang terlibat dalam program tersebut.

Selain kaum perempuan dan sejumlah organisasi perempuan, juga dari Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) terkait, yang bergerak di bidang infrastruktur, ekonomi, dan rutilahu. Sebab, menurut dia, pembangunan keluarga yang sejahtera memang perlu dilakukan dari berbagai aspek.

Meski begitu, ia mengakui, program pemberian bantuan kepada 1.500 keluarga kurang mampu belum bisa memberikan perlindungan ke seluruh keluarga di KBB. Apalagi, total keluarga kurang mampu di KBB, yakni mencapai 100 ribu. Namun, program tersebut akan terus berlanjut tiap tahun secara rutin.

Untuk mempermudah pelaporan dari masyarakat, Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) KBB pun menyediakan pos pelaporan terkait kasus-kasus kekerasan, baik itu KDRT ataupun kekerasan pada anak. Peran pos ini juga untuk mendeteksi potensi terjadinya KDRT di daerah yang dicakup pos tersebut.

Kepala Bidang Pemberdayaan Perempuan dan Anak Badan Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak dan Keluarga Berencana (BP3AKB), Nur Julaeha menjelaskan, pada 2014 lalu, angka kekerasan pada perempuan dan anak ada sekitar 48 kasus dengan korban lebih dari 100 orang. "Karena ada beberapa kasus yang korbannya beberapa orang," tutur dia.

Kata dia, dari sekian kasus itu, yang paling terjadi adalah kasus kekerasan seksual pada anak. Bahkan, kasus tersebut terus berlanjut pada tahun ini. "Pada 2015 kita dikejutkan dengan kasus sodomi. Ada dua kasus, di Cisarua dan Padalarang. Kasus sama, dua tempat berbeda dan dua pelaku yang berbeda," ujar dia.

Sedangkan, ia menambahkan, jumlah kasus kekerasan pada perempuan dan anak, hingga Agustus tahun ini, yakni 22 kasus dengan total 52 korban. Mayoritas korban berasal dari kalangan anak-anak dan sebagian kecil dari kalangan perempuan. "Di Cisarua itu yang teridentifikasi korbannya ada 5 orang. Kemudian di Padalarang itu ada 12 korban," tutur dia.

Menurut dia, penyebab utama kondisi kekerasan ini karena ada degradasi moral, dan faktor kemiskinan. Sebab, ia mengakui, kebanyakan korban dan pelaku itu memang berasal dari kalangan kurang mampu. "Jadi bisa dikatakan salah satu penyebab adalah karena faktor ekonomi. Rata-rata pelakunya miskin, hampir 80 persen," kata dia.

Daerah yang paling dominan terjadi kekerasan tersebut, pun menyebar. Hampir di tiap kecamatan itu punya potensi. Namun, diakui Nur, paling banyak terjadi di Kecamatan Cipatat. Hal ini bukan berarti Cipatat yang kondisinya paling memprihatinkan. Tapi, ada kemungkinan daerah lain juga marak terjadi tapi tidak ada yang berani melaporkan.

Untuk KDRT, menurut dia, salah satu pemicunya karena faktor pernikahan dini. Sebab, seseorang yang melakukan pernikahan dini kebanyakan masih kurang memahami bagaimana cara mengayomi dan membangun sebuah keluarga. "Kualitas SDM (sumber daya manusia) juga ikut mempengaruhi timbulnya KDRT," kata dia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement