Rabu 09 Sep 2015 17:10 WIB

KPK: 82 Persen Koruptor Berpendidikan Tinggi

Massa yang tergabung dalam Pijar Indonesia menggelar lukisan para koruptor di Bundaran HI, Jakarta, Ahad (25/3).  (Republika/Agung Supriyanto)
Massa yang tergabung dalam Pijar Indonesia menggelar lukisan para koruptor di Bundaran HI, Jakarta, Ahad (25/3). (Republika/Agung Supriyanto)

REPUBLIKA.CO.ID, SURABAYA -- Direktur Direktorat bidang Pendidikan dan Pelayanan Masyarakat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Sujarnako, mengemukakan sebanyak 75 persen pelaku korupsi adalah lulusan pendidikan tinggi yang menjabat di lingkungan pemerintah kabupaten, kota, ataupun provinsi.

"Menurut data ACFE (Association of Fraud Examiners), sebanyak 75 persen pelaku 'fraud' (termasuk tindak korupsi) di dunia dan bahkan 82 persen di Indonesia adalah lulusan pendidikan tinggi," kata Sujarnako yang mengisi "Workshop Pencegahan Korupsi di Indonesia dengan Peran Perguruan Tinggi dalam Pendidikan Budi Pekerti dan Agama" di Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya (UKWMS), Rabu (9/9).

Ia mengatakan, faktor terjadinya korupsi, antara lain, faktor politik, hukum, ekonomi, serta organisasi, sedangkan akar penyebab korupsi adalah krisis identitas dan orientasi kemanusiaan, kegagalan pendidikan, lemahnya kontrol dalam keluarga, aktualisasi agama terlalu normatif serta proses politik.

Menurut dia, ada sekitar 1.365 kasus korupsi yang telah berkekuatan hukum tetap atau in kracht dari rentang waktu 2001 hingga saat ini. Jika diestimasi, kerugian negara mencapai Rp168,19 triliun. Tetapi, jumlah uang yang berpotensi kembali ke negara hanya Rp 15,09 triliun atau sekitar 8,97 persen.

Chairman Association of Fraud Examiners East Java Region, Romanus Wilopo, menyatakan menurut ACFE (Association of Fraud Examiners) kerugian negara pada 2013 di seluruh dunia diakibatkan fraud atau white collar crime mencapai 3,7 miliar dolar AS atau setara dengan 30 persen dari uang rakyat dikorupsi.

"Mereka yang korupsi karena perilaku korupsi mereka menganut perilaku living beyond means atau keserakahan mengambil lebih banyak dari yang diperlukan dalam hidup dan pola hidup hedonisme, sehingga ketika ada niat dan kesempatan ataupun peluang mereka dengan mudahnya mengambil sesuatu yang lebih banyak dari sewajarnya," katanya.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement