Kamis 03 Sep 2015 20:20 WIB

Gagal Panen Ancam Picu Perceraian di Kalangan Petani

Rep: Lilis Handayani/ Red: Bayu Hermawan
Petani di sawah yang alami kekeringan.
Foto: Antara
Petani di sawah yang alami kekeringan.

REPUBLIKA.CO.ID, INDRAMAYU -- Gagal panen (puso) akibat kekeringan di musim kemarau tahun ini melanda berbagai daerah di Kabupaten Indramayu. Tak hanya menimbulkan kerugian materi, kondisi itu juga terancam memicu terjadinya perceraian di kalangan petani/buruh tani.

''Kemungkinan (cerai di kalangan petani akibat puso) sih ada karena lahan yang puso bisa memicu permasalahan ekonomi,'' ujar Ketua Pengadilan Agama Kabupaten Indramayu, Anis Fuadz, Kamis (3/9).

Anis mengatakan, hingga saat ini, kondisinya memang masih normal. Menurutnya, fenomena meningkatnya perceraian akibat pengaruh lahan pertanian puso baru akan terlihat pada November mendatang.

Berdasarkan data dari Pengadilan Agama (PA) Kabupaten Indramayu, sejak musim kemarau yang berlangsung mulai Mei hingga 31 Agustus 2015, laporan perkara cerai talak dan cerai gugat mencapai 2.828 kasus. Dari rentang waktu tersebut, laporan perkara cerai talak dan cerai gugat tertinggi terjadi pada Agustus 2015 yang mencapai 871 kasus.

Sementara itu, dilihat dari penyebab perkara cerai, faktor ekonomi menempati posisi tertinggi. Pada Agustus, penyebab perceraian akibat faktor ekonomi mencapai 546 kasus, Juli 300 kasus, Juni 502 kasus dan Mei 452 kasus. Sedangkan sisanya disebabkan faktor lain, seperti moral, meninggalkan kewajiban, menyakiti jasmani dan terus menerus berselisih.

''60-70 persen gugatan cerai diajukan oleh istri kepada suami karena suami tidak bertanggung jawab, rata-rata masalahnya bersumber dari ekonomi,'' katanya.

Jika dilihat dari pekerjaan, masyarakat yang mengajukan perceraian 40 persen bekerja serabutan, di antaranya buruh tani. Karenanya, hasil panen bisa berpengaruh ke rumah tangga buruh tani.

''TKI juga banyak yang bermasalah dengan rumah tangganya yang berujung pada perceraian,'' jelasnya.

Anis menambahkan, jika dilihat dari faktor pendidikan, masyarakat yang mengajukan cerai sebanyak 45 persen di antaranya merupakan lulusan sekolah dasar (SD). Itu berarti, faktor pendidikan memegang peran penting dalam perceraian.

Menurutnya, kasus perceraian di Kabupaten Indramayu merupakan yang tertinggi di Indonesia. Dia menyebutkan, laporan perkara perceraian pada 2013 sebanyak 9.035 kasus, 2014 mencapai 8.970 kasus dan Januari - Agustus 2015 sebanyak 5.615 kasus.

Anis mengungkapkan, untuk mengatasi tingginya angka perceraian, dibutuhkan penanganan secara komprehensif. Dia menilai, pemda tidak bisa berdiri sendiri, dan dibutuhkan upaya dari berbagai sektor lainnya secara terintregasi.

Sementara itu, salah seorang warga Kecamatan Juntinyuat, Kabupaten Indramayu, Iis, menuturkan, mengajukan gugatan cerai kepada suaminya karena alasan ekonomi. Menurutnya, suaminya yang berprofesi sebagai petani tak mampu menafkahi dan memenuhi kebutuhan pangan dan sandang sehari-hari.

''Karena itulah saya mau minta cerai,'' ucap Iis.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement