REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ingin mengambil tanah sendiri, dua petani dari Kelompok Tani Benua Etam (KTBE), Agussalim dan Miserianto, malah dijadikan tersangka oleh Polres Kutai Timur, dengan dijerat pasal 363 KUHP tentang pencurian.
Dalam siaran persnya kepada Republika, Agussalim dan Miserianto merupakan perwakilan dari 600 petani KTBE dan 2220 keluarga petani transmigrasi di Rantau Pulung, Kalimantan Timur. Dengan bukti beberapa Surat Keterangan Tanah (SKT) dan sertifikat hal milik, dua petani ini malah ditersangkakan polres setempat.
Dalam keterangan Miserianto, pada tahun 1970 petani mempunyai 18 ribu hektar lahan yang merupakan tanah negara. Kemudian pada tahun 1970-an, PT Prodisa memperoleh konsesi Hak Pengusaha Hutan (HPH) yang berakhir pada tahun 2000.
Jelang akhir tahun 2001, Gubernur Kalimantan Timur mencadangkan lahan tersebut untuk transmigrasi di bekas tebangan kayu PT Prodisia dengan luas 16.200 hektar. Pencadangan itu didasarkan pada Surat Keputusan 10 September 1991 dan SK Gubernur Kaltim nomor 26/BPN-16/UM-22/1991.
Selain Miserianto, Agussalim juga menuturkan pada tahun 1996, Menteri Agraria Kepala BPN, Soni Harsono menyerahkan hak pengelolaan tersebut kepada Menteri Transimigrasi untuk kawasan transmigrasi umum berdasarakan surat keputusan nomor 9/HPL/BPN/1996.
Sampai pada tahun 2004 kata Agussalim, tanah yang dikonversi menjadi hak milik sebesar 8.200 hektar dengan rincian kepemilikan tanah, persil lahan transmigrasi umum bersertifikat 2.220 keluarga, 680 keluarga memiliki bukti redistribusi sertifikat, 1116 hektar memiliki bukti surat keterangan tanah dengan 610 keluarga.
Dalam siaran persnya itu, Agussalim juga menjelaskan pada tahun 2006, PT NIKP bermohon lokasi kebun sawit kepada bupati Kutai Timur seluas 16 ribu hektar. Kemudian Bupati Kutai Timur, Awang Faruk menyetujinya dengan mengeluarkan izin lokasi persetujuan seluas 17.259 hektar untuk PT NIKP di Kecamatan Rantau Pulung Kutai Timur.
Ia menyebutkan surat persetujuan itu bernomor 537/02.188.45/HK/XI/2007. Izin lokasi ini sebagian berada di atas lahan milik masyarakat transmigrasi di delapan desa Rantau Pulung.
Pemberian izin yang disinyalirnya tumpang tindih di atas lahan masyarakat inilah menjadi awal konflik antara petani transmigrasi dan KTBE dengan PT NIKP. Sampai hari ini, KTBE bersama petani transmigrasi sudah tujuh tahun berjuang melaan perampasan lahan hak milik yang beroperasi di Rantau Pulung.
Agussalim mengatakan beberapa kali mediasi dan negosiasis dengan penduduk kebun sudah dilakukan petani transmigrasi dan KTBE. Namun mediasi tersebut masih berujung buntu.
"Kami boleh dipenjara. Tapi perlawanan kami tak boleh dipenjarakan. Kami akan melawan terus. Sampai hak kami kembali," kata Agussalim, Rabu (2/9).