Kamis 03 Sep 2015 06:34 WIB

Membaca Pergeseran Sikap PAN

Red: M Akbar
Ubedilah Badrun
Foto: Republika/Agung Supriyanto
Ubedilah Badrun

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Ubedilah Badrun

(Pengamat Sosial Politik Universitas Negeri Jakarta)

Akhirnya sejak 2 September 2015 ini secara terang benderang PAN mendukung pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla (Jokowi-JK). Sikap itu mengkristral dari pernyataan Ketua umum PAN Zulkifli Hasan usai bertemu Jokowi di Istana.

Berbagai media masa mengabarkan PAN telah bergabung dengan pemerintahan meski agak malu karena sambil menyatakan tidak otomatis bergabung dengan Koalisi Indonesia Hebat (KIH). KIH adalah sebutan koalisi pendukung Jokowi-JK saat Pemilu Presiden 2014 lalu. Koalisi yang pada waktu itu berseberangan dengan Koalisi Merah Putih (KMP) yang diikuti PAN, dimana PAN sebagai salah satu motor penting KMP pendukung Prabowo-Hatta. Lantas apa yang mungkin bisa dibaca dari pergeseran sikap PAN ini?

Motif PAN Mendukung Pemerintah

Hal yang paling mudah dibaca dari pergeseran sikap PAN ini adalah dari motif yang manifest (nyata, terucap) oleh Ketua umum PAN Zulkifli Hasan. Ia mengatakan bergabungnya PAN dengan pemerintahan karena demi mengutamakan kepentingan bangsa dan negara. Situasi ekonomi global saat ini mendorong PAN meyakini pentingnya kebersamaan dari seluruh elemen masyarakat, partai politik dan elemen bangsa untuk mensukseskan pemerintahan.

Motif tersebut memuat tiga makna penting. Pertama motif mulia kenegaraan karena mengutamakan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan kelompok, kepentingan koalisi dan kepentingan partai politik. Motif etik kenegaraan adalah motif yang niscaya harus dimiliki oleh politisi nasional ketika mengambil sikap politik maupun memutuskan sebuah kebijakan publik.

Kedua, motif pragmatis. Dalam politik, motif ini sering juga disebut motif transaksional, motif tentang kesepakatan melakukan apa dan mendapatkan apa. Dari pernyataan Ketua Umum PAN Zulkifli Hasan motif tersebut nampak dari pernyataanya mendukung pemerintah dan bergabung dengan pemerintahan Jokowi-JK. Motif bergabung ini menunjukan kesediaan PAN untuk menempatkan kadernya dalam kabinet. Kemungkinan PAN mendapatkan kursi kabinet ini sangat tinggi karena akan ada kemungkinan reshuffle kabinet jilid II.

Motif pragmatis ini juga dimungkinkan misalnya untuk penyelamatan Ketua Umum PAN Zulkifli Hasan terkait kesaksian Direktur Jenderal Planologi Kementerian Kehutanan Bambang Supijanto yang dimuat banyak media masa. Bambang Supijanto ketika di Pengadilan Tipikor mengungkapkan tentang peran mantan Mentri Kehutanan Zulkifli Hasan pada waktu itu, khususnya soal revisi Surat Keputusan Menteri Kehutanan 673 yang belakangan ternyata menjadi peluang terjadinya tindak pidana suap yang dilakukan Gubernur Riau nonaktif, Annas Maamun.

Ketiga, motif berdiri di dua kaki. Motif ini sering terjadi pada kelompok politik koalisi dalam sistem presidensil. Pada satu sisi suatu kelompok politik kadernya berada di kabinet untuk mendapatkan financial resource tetapi pada sisi lain kadernya di parlemen berseberangan dengan pemerintahan karena berkoalisi dengan kelompok politik lain.

Dalam konteks PAN ini nampaknya bisa seperti itu karena ada pernyataan bergabungnya PAN itu dengan pemerintah bukan dengan KIH (Koalisi Indonesia Hebat). Posisi 'dua kaki' ini tentu saja direspon negatif oleh konstituen PAN juga oleh partai partai yang ada di KMP, bahwa langkah PAN bergabung dengan pemerintah tanpa terlebih dahulu bermusyawarah dengan KMP dinilai secara etika politik sebagai sikap yang tidak etis.

Langkah PAN Merubah Peta Parlemen?

Sebelum PAN berubah sikap, KMP di DPR berkekuatan 258 kursi. Detailnya Golkar 91 kursi, Gerindra 73, PKS 40, PAN 48, dan PPP loyalis Djan Faridz 6. Sedangkan KIH hanya memiliki 241 kursi, dengan detail PDIP 109 kursi, PKB 47, NasDem 36, Hanura 16, PPP loyalis Romahurmuziy 33. Itulah sebabnya setiap voting KMP selalu menang. Dengan bergabungnya PAN, KIH bertambah kuat. Total kekuatan KIH menjadi 289 kursi, unggul jauh dari KMP yang tinggal 210 kursi. Kalaupun Partai Demokrat mendukung KMP, total kekuatannya hanya 271, masih kalah dari KIH.

Secara kuantitatif di atas kertas jumlah anggota DPR pendukung pemerintah (289) di atas kelompok oposisi (271) tetapi secara kualitatif dimungkinkan terjadi pergeseran karena dua hal. Pertama, jika PAN masuk kabinet, itu artinya ada kader partai lain yang harus diganti, dan pergantian itu memungkinkan adanya anggota parlemen dalam satu koalisi yang resisten.

Kedua, kemungkinan anggota parlemen dari KIH tidak satu suara, ini pernah terjadi pada koalisi pemerintahan SBY ketika DPR memutuskan perkara Bailout Century. Kemungkinan sebagian anggota DPR dari PAN tidak satu suara juga bisa terjadi mengingat posisi 'dua kaki' PAN antara yang ada di kabinet dan yang ada di koalisi oposisi. Dalam konteks itu, politik Indonesia mesti di pahami sebagai suatu dinamika kontestasi yang kompleks.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement