Kamis 03 Sep 2015 03:03 WIB

Dana Haji, Hendak Diapakan?

Arif Supriyono
Foto: dok pribadi
Arif Supriyono

Oleh: Arif Supriyono

Wartawan Republika

Geliat perekonomian nasional belum juga terlihat menggembirakan. Harga kebutuhan pokok belum kembali pada posisi ideal, sesuai harapan masyarakat.

Daya beli masyarakat pun kian terbatas. Di beberapa daerah mulai terdengar adanya pemutusan hubungan kerja oleh industri akibat situasi yang tak mendukung ini.

Kian melemahnya rupiah terhadap dolar AS (satu dolar AS kini telah berada di kisaran Rp 14.000) juga menjadi kendala lain. Beban biaya impor kita menjadi berat, sementara dari ekspor juga tak bisa menutupi. Padahal, pemerintah membutuhkan dana besar untuk menggerakkan roda perekonomian nasional agar terus menggelinding.

Pemerintah pun melakukan pelbagai upaya untuk memacu kondisi perekonomian nasional. Supaya pertumbuhan nasional terjaga, pintu investasi terus dibuka lebar-lebar. Cina yang selama ini relatif terbatas membenamkan modalnya ke Indonesia, kini menjadi mitra yang sangat diandalkan pemerintah.

Selama ini, Cina belum masuk hitungan sebagai mitra strategis dalam berinvestasi di Indonesia. Namun, dalam realisasi investasi akhir 2014, Cina sudah masuk ke urutan lima besar dan menggeser peran Amerika Serikat.

Urutan pertama tetap Singapura dengan nilai investasi Rp 11,25 triliun. Berikutnya di posisi kedua adalah Malaysia (Rp 10 triliun), lalu  Jepang (Rp 8,75 triliun), Cina (Rp 6,25 trilliun), dan Korea Selatan (Rp 5 triliun). AS berada di urutan keenam dengan nilai investasi Rp 4,17 triliun.

Besarnya investasi Cina juga diikuti oleh aliran gelombang tenaga kerja asal negeri tirai bambu itu ke Indonesia. Dari data di Kementerian Ketenagakerjaan, sejak Januari 2014 hingga Mei 2015, instansi itu sudah menerbitkan izin menggunakan tenaga kerja asing atau buruh dari Cina sebanyak 41 ribu. Realisasinya, sampai Juni 2015, sudah ada 12 ribu buruh asal Cina yang mencari nafkah dan memeras keringat di sini.

Meski investasi terus digenjot, kebutuhan dana untuk menggerakkan roda pembangunan belum juga mencukupi. Tak mungkin pula pemerintah mencetak uang untuk membiaya pembangunan, karena ini akan menimbulkan inflasi luar biasa dan tekanan internasional yang sangat kuat terhadap Indonesia.

Salah satu jalan yang kini hendak ditempuh pemerintah adalah memanfaatkan potensi dana yang ada di dalam negeri yang selama ini dianggap ‘menganggur sia-sia’. Potensi dana besar memang ada di Jamsostek (Jaminan Sosial Tenaga Kerja) atau Badan Pengelola Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan, Taspen (Tabungan Asuransi Pegawai Negeri), dan dana dari biaya penyelenggaraan ibadah haji (BPIH).

Sejak lama masyarakat mengetahui dan memahami, bahwa dana Jamsostek (BPJS Kesehatan) serta Taspen dimanfaatkan oleh pemerintah, lalu para karyawan/tenaga kerja yang menaruh uangnya di situ mendapat bagian keuntungan atas reinvestasi BPJS/Taspen tersebut. Ini tentu berbeda dengan dana BPIH.

Akumulasi setoran BPIH sampai 2014 sebanyak Rp 73,79 triliun. Bahkan diperkirakan, hingga 2022, dana BPIH yang terkumpul bisa mencapai Rp 147,67 triliun. Sungguh suatu jumlah yang tak sedikit.

Dana biaya haji memang terkumpul jumlah besar. Ini karena semua calon jamaah haji harus menyetor dana lunas pada saat pendaftaran. Sementara itu keberangkatan mereka naik haji bisa beberapa tahun kemudian. Di wilayah Kabupaten Tulungagung, Jatim daftar tunggu naik haji itu mencapai 17 tahun sejak seseorang mendaftarkan diri untuk berhaji. Sedangkan di Kalbar antrean berhaji hingga sekitar 20 tahun.

Terbatasnya uang yang dimiliki negara di satu sisi dan menumpuknya dana masyarakat pada sisi lain membuat pemerintah melirik dana BPIH. Ide pemerintah adalah membentuk Badan Pengelola Keuangan Haji. Badan inilah yang selanjutnya akan memanfaatkan dan mengalokasikannya kepentingan umum.

Mengacu pada pemanfaatan dana Jamsostek selama ini, dana BPIH akan ditanamkan pula untuk kegiatan yang memberi keuntungan. Sejumlah sektor sudah dilirik dan diincar pemerintah untuk digerojok dengan dana hasil akumulasi BPIH itu. Sektor itu antara lain perkebunan dan infrastruktur (pelabuhan, jalan, serta bandara).

Sektor itu dianggap bidang yang hampir pasti memberikan keuntungan. Lantaran ini dana untuk biaya haji, maka investasi akan dilaksanakan untuk sektor yang sesuai dengan prinsip syariah. Demikian pula sistem bagi hasilnya.

Masalah yang menjadi pertanyaan adalah proses pemanfaatan dana itu. Sejak awal calon jamaah haji menyetorkan dana, mereka tak pernah tahu bahwa dana itu akan diinvestasikan pemerintah lebih dulu. Selama ini mereka hanya mengerti, bahwa setoran haji harus lunas di awal pendaftaran dan mereka tak harus menambah biaya lagi meski kelak nilai tukar rupiah anjlok.

Jika kemudian dana haji itu ‘diputar’ oleh pemerintah, maka seolah ada siasat untuk membelokkan peruntukan dana haji itu. Ini karena kontrak kesepakatan atau akad di awal menitipkan dana haji itu bukanlah untuk berinvestasi. Apalagi, salah satu letak pembeda antara bisnis konvensional dan sistem syariah adalah pada akad atau perjanjian awal.

Jika pemerintah tetap berkeras untuk menggunakan dana haji ini bagi pembangunan, maka sosialisasi untuk penggunaan dana haji itu harus terus dilakukan secara masif. Bisa pula pemerintah meminta persetujuan lebih dulu kepada para calon jamaah haji untuk memanfaatkan dana itu.

Jalan untuk meminta persetujuan ini bisa dilakukan dengan berbagai cara. Misalnya, mereka diminta mengisi pilihan setuju atau tidak bila dana haji itu diinvestasikan pemerintah. Bisa juga dibuka kotak usulan di setiap kantor Kemenag daerah, setelah diadakan sosialisasi dalam waktu yang cukup. Jika mereka tak memberi usulan, maka hal itu dianggap menyetujui.

Ini hanya salah satu contoh cara saja. Pokok masalahnya, pemerintah harus minta izin lebih dulu kepada pemilik uang untuk menggunakan dana haji yang terkumpul tersebut untuk berinvestasi. Jikalau lebih banyak calon jamaah haji yang menolak, tak ada alasan pemerintah untuk meneruskan rencana tersebut.

Bagaimanapun, cara atau proses tetaplah penting. Apa pun tujuannya, tak boleh menghalalkan (semua) cara. Suara dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Majelis Ulama Indonesia (MUI) sangat perlu dan ditunggu untuk urusan ini.

Satu hal lagi, investasi ini ‘tak boleh’ merugi. Bila merugi, maka pemerintah harus menggantinya penuh dan bahkan juga memberi tambahan bagi hasil dari investasi dana tersebut.    

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement