Selasa 01 Sep 2015 13:35 WIB

Calon Wawali Surabaya Tawarkan Dua Solusi Calon Tunggal

Rep: c20/ Red: Bilal Ramadhan
Ketua DPC PDIP Surabaya dan Wakil Wali Kota Surabya Wisnu Sakti Buana (kiri).
Foto: Antara
Ketua DPC PDIP Surabaya dan Wakil Wali Kota Surabya Wisnu Sakti Buana (kiri).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Calon Wakil Wali Kota Surabaya, Whisnu Sakti Buana menjadi salah satu pemohon dalam sidang uji materi di Mahkamah Konstitusi terkait calon tunggal kepala daerah dalam Pilkada serentak 2015.

Dalam sidang, Whisnu melalui kuasa hukumnya menawarkan dua mekanisme pemilihan sebagai solusi bagi calon tunggal kepala daerah.

"Bagi kami, semua kami serahkan pada Mahkamah, supaya adil dan bijaksana. Ini demi perlindungan dan pemenuhan hak warga negara dalam memilih, pergantian kepala daerah, dan bagi parpol yang tidak mengusung calon untuk mempertanggungjawabkan," kata pengacara Whisnu, Edward Dewaruci, dalam sidang di Gedung MK, Jakarta Pusat, Selasa (1/9).

Edward mengatakan pertama, pemohon meminta agar MK membuat aturan pelantikan tanpa kontestasi. Dalam hal ini, lanjut Edward pasangan calon tunggal kepala daerah dapat langsung dilantik setelah ditetapkan sebagai calon oleh Komisi Pemilihan Umum.

Menurut dia, hal itu sesuai Pasal 18 ayat 4 Undang-Undang Dasar 1945, di mana kepala daerah dipilih secara demokratis, berdasarkan dukungan besar pemilih.

"Mekanisme tersebut untuk menghindari penggunaan "calon boneka" dalam pemilihan. Hal itu juga lebih efektif dalam memberikan sanksi bagi partai politik yang dengan sengaja tidak mengusung calon kepala daerah," ujar Edward.

Sementara itu, mekanisme kedua yang ditawarkan adalah pemilihan dengan satu pasangan calon. Namun menurut Edward, mekanisme itu membutuhkan beberapa penyesuaian dalam tampilan surat suara. Edward melanjutkan surat suara tetap berisi gambar, nama dan foto pasangan calon tunggal. Namun, di bawah foto pasangan calon, diberikan dua kolom dengan keterangan setuju atau tidak setuju.

"Pemilih diminta untuk memilih salah satu kolom. Sepanjang jumlah pemilih kolom tidak setuju tidak melebihi 50 persen, maka jumlah suara tersebut sudah bisa dijadikan landasan untuk melantik. Ini pedoman seberapa besar pemilih melakukan pemilihan secara demokratis," kata Edward.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement