REPUBLIKA.CO.ID, BANDUNG BARAT -- Musim kemarau masih menjadi momok yang merugikan baik itu kalangan petani ataupun warga.
Di Desa Tamanjaya Kecamatan Gunung Halu dan Desa Gunung Masigit Kecamatan Cipatat, Kabupaten Bandung Barat (KBB), pasokan air di sumur-sumur pemukiman warga kian menipis.
Selain di dua desa itu, kekeringan juga terjadi di Desa Pataruman Kecamatan Cihampelas, KBB. Salah seorang warga Pataruman, Aang, menuturkan, ia sudah mulai kesulitan mengakses bersih sejak sekitar tiga bulan terakhir.
Untuk mendapatkan air bersih, ia harus membeli air dengan nilai Rp 6.000 per lima jerigen. "Di sini kalau kemarau memang selalu kering airnya," ujar Aang, Ahad (30/8).
Ia menjelaskan, dalam sehari, warga setempat biasanya membeli air dua kali. Saat membeli, warga harus mengantre panjang untuk bisa memperoleh air. Respon pemerintah setempat, kata dia, terhadap kondisi kekeringan di desanya selalu saja nihil.
"Belum, belum ada bantuan," tutur dia.
Sementara itu, Kepala Pelaksana Harian Badan Penanggualangan Bencana Daerah (BPBD) KBB Roni Rudyana menuturkan, saat ini ada sekitar lebih dari 6.000 warga Kabupaten Bandung Barat yang kesulitan mengakses air bersih. Dari total tersebut, 4.000 warga kesulitan mendapatkan air bersih di Desa Gunung Masigit Kecamatan Cipatat, dan sebanyak 2.800 warga Desa Tamanjaya Kecamatan Gunung Halu pun merasakan kondisi yang sama.
Namun, untuk kekeringan yang di Desa Pataruman, pihaknya mengaku belum menerima laporan dari pejabat desa setempat. "Dari laporan, Cipongkor dan Saguling juga sama (terkena dampak kekeringan)," tutur Roni.
Untuk menanggulangi kondisi demikian, pihaknya mengaku telah mengirimkan pasokan air bersih ke Desa Gunung Masigit di Kecamatan Cipatat. Total volume air yang dikirim yakni 5.000 liter dengan dibantu oleh pihak damkar. "Ini akan kami lakukan ke daerah-daerah yang lain yang butuhkan air bersih," kata dia.
Kekeringan tak hanya terjadi di KBB, tapi juga berdampak pada kondisi pertanian di Kabupaten Bandung. Akibatnya, sejumlah petani, seperti di Kecamatan Katapang salah satunya, mengalami kerugian karena produksinya yang menurun.
Salah seorang petani di kecamatan tersebut, Solihin menuturkan, selama musim kemarau ini, ia hanya mampu memproduksi padi sebanyak 2,5 kwintal Gabah Kering Giling (GKG), dari luas lahan garapannya seluas 5.000 meter persegi.
"Normalnya mah bisa sampai 13 kwintal," ujar dia.
Solihin menambahkan, kondisi demikian terjadi karena pengairan irigasi yang berasal dari sungai Cikasungka ikut mengering. Kondisi lahan garapan Solihin pun terlihat retak-retak. "Di saluran irigasinya juga enggak ada air," ujar dia.
Karena produksinya yang menurun, ia tidak bisa memperoleh keuntungan. Balik modal pun tidak, tapi diakuinya malah buntung. Modal yang dikeluarkannya saat masa tanam hingga masa panen yakni sebanyak Rp 2 juta.
Kata dia, sumber air untuk lahan sawah garapannya sebenarnya bisa diperoleh dari sungai Ranjeng. Namun, sayangnya, jarak antara lahan garapannya dengan sungai tersebut jauh, sekitar satu kilometer.
"Mesin pompa memang ada di desa, tapi kan tetap harus mengeluarkan uang lagi," kata dia.
Sebab, kata dia, ketika menggunakan mesin pompanya, tentu harus menggelontorkan dana lagi untuk keperluan pembelian selang, bahan bakar, dan ongkos untuk membayar pekerja yang memfungsikan mesin pompa.
"Belum buat beli selang, solar, bayar orangnya juga, enggak ada lagi," tutur dia.