Rabu 26 Aug 2015 07:44 WIB

Soal Penyerapan Anggaran, Pemerintah Diminta Lakukan Evaluasi Per Kuartal

Rep: Qommaria Rostanti/ Red: Hazliansyah
Penyerapan Anggaran (ilustrasi)
Penyerapan Anggaran (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID,‎ JAKARTA -- Untuk mengoptimalkan penggunaan anggaran, pemerintah hendaknya memiliki format evaluasi per kuartal. Pada kuartal I, misalnya, format evaluasi berupa adanya keharusan pencairan anggaran di bawah 25 persen.

"Kalau ada indikasi tidak terserap anggaran itu harus ditemukan penyebabnya," ucap Sekretaris Jenderal Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA) Yenny Soetjipto saat dihubungi ROL, Selasa (25/8) malam.

Pada kuartal II hendaknya kembali dievaluasi apakah terserap 45 persen atau tidak. Menurut Yenny, evaluasi bertahap ini sangat penting. "Tidak ujung ketika kuartal III alokasi masih tinggi lalu jadi kebingungan," ucapnya mengkritik.

Tidak optimalnya penggunaan anggaran lantaran sistemnya yang tidak terbangun dengan baik. Jika sistemnya terbangun, maka hal seperti itu tidak akan terjadi.

"Pemerintah selalu berbicara serapan anggaran rendah karena pejabat takut dengan adanya kriminalisasi program, ini alasan klasik pemerintah," kata dia.

Sebab peraturan tentang penggunaan anggaran telah tersedia. Tinggal bagaimana instansi di pusat dan daerah mengikuti sesuai petunjuknya sehingga tidak lagi menjadikan ketakutan akan kriminalisasi sebagai kambing hitam atas tidak maksimalnya penyerapan anggaran.

Jika dalam prosesnya instansi tidak patuh menjalankan aturan, wajar jika masuk ke ranah pidana. Misalnya, kata Yenny, seperti kasus bansos atau Andi Mallarangeng yang belanja modalnya tidak sesuai aturan.

"Masa yang seperti itu mau dilindungi," ucapnya mempertanyakan.

Apabila penggunaan anggaran berkaitan dengan perjalanan dinas yang kurang menyertakan kuitansi, pembelian alat tulis kantor (ATK), dan maintanance maka rekomendasinya bisa dilakukan lewat perbaikan. Namun jika perbuatannya sudah menabrak undang-undang seperti UU No 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan UU No 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara maka pemerintah tidak bisa melegasikannya.

"Berarti sudah melanggar etika dan aturan yang ada, artinya ini merugikan negara," ujar Yenny.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement