REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Komisi IX DPR, Dede Yusuf tidak setuju dengan rencana pemerintah menghapus aturan Tenaga Kerja Asing (TKA) wajib bisa berbahasa Indonesia. Ia menilai penghapusan aturan tersebut merendahkan martabat bangsa di mata negara asing.
"Saya tidak setuju, selain akan ada implikasi sosial, budaya, penghapusan aturan tersebut terkesan merendahkan martabat bangsa," tegasnya.
Politikus Partai Demokrat itu melanjutkan, pemerintah justru seharusnya memperkuat aturan tersebut. Menurutnya aturan tersebut bisa menjadi kontrol terhadap serbuan tenaga kerja asing, sehingga lapangan kerja untuk rakyat Indonesia tidak semakin tergusur. Selain itu, hal ini penting demi kelancaran komunikasi pekerja nanti.
"Karena mereka kerja bukan seminggu dua Minggu, namun bisa bekerja berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun. Perlu komunikasi dengan sesama pekerja, atasan, bawahan, atau pejabat setempat. Ini ditujukan agar pengawasan dan pelaporan tetap ada," jelasnya.
Menurutnya, alasan penghapusan aturan tersebut untuk menumbuhkan iklim investasi juga tidak. Ia menilai lesunya iklim investasi di Indonesia bukan karena TKA wajib berbahasa Indonesia, namun memang ada faktor-faktor lain seperti kondisi politik, hukum, dan birokrasi yang harus diperbaiki.
"Di era SBY investasi kita termasuk yang terbesar di Asia Tenggara. Bahkan Indonesia menjadi negara tujuan investasi. Jika dirasa bahasa menjadi kendala, bagaimana dengan negara lain tetapi ada aturan bahasa lokal, tapi enggak ada masalah. Kendala datang dari ketidakpastian, baik waktu maupun hukum. Ini yang penting diperbaiki. Seperti dwelling time kemarin," jelasnya.
Dede menambahkan, pihaknya pun berencana memanggil Menteri Ketenagakerjaan Hanif Dhakiri terkait recana tersebut. "Rencana kita akan panggil menaker soal ini secepatnya," ucapnya.