REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Indonesia bakal menjadi negara pertama yang memiliki standardisasi kompetensi kerja tenun tradisional. ‘’Belum pernah ada standar di negara lain,’’ kata Biranchi Upadhyay dari Hivos, sebuah organisasi yang memberi bantuan dana berbasis di Den Haag, Belanda, di Jakarta, Kamis (20/8)
Upadhyay yang banyak berhubungan dengan penenun di berbagai negara Asia dan Afrika itu mengungkap, di banyak tempat penenun ada kondisi yang sulit. Selain penghasilan mereka renda, produk mereka pun tergilas persaingan dengan tenun hasil industri. Para penenun tradisional, jelas dia, mengulang-ulang karya para pendahulu mereka sementara selera pasar telah berubah.
‘’Mereka tak punya akses informasi perkembangan selera pasar, tidak punya pula akses pasar,’’ katanya di depan peserta Konvensi Rancangan Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (RSKKNI). Hivos bersama Uni Eropa mendanai proyek ‘Sustainable Hand Woven Eco Textiles’ bersama Cita Tenun Indonesia. Bersama mereka mengupayakan penyusunan standar kompetensi bagi tekstil dengan prinsip ramah lingkungan di Jakarta.
Ria Noviari Butarbutar, perwakilan UE di Jakarta, mengingatkan, tenun tak hanya di Indonesia. Berbagai negara di dunia memiliki tenun tradisionalnya masing-masing. ‘’Bila Indonesia mempunyai standar tertentu, diharapkan bisa menambah daya jual dan daya saingnya,’’ kata dia di depan peserta konvensi yang sebagian besar merupakan masyarakat tenun tradisional dari berbagai daerah di Indonesia.
Ria menyebutkan proyek yang berlangsung 48 bulan, mulai Februari 2013 hingga Januari itu dilaksanakan di 20 provinsi yang meliputi 11 provinsi di Indonesia dan 9 provinsi di Filipina. Ia mengakui, progres proyek dengan kucuran dana 2,5 juta euro – sebesar 80 persennya dari UE—cukup baik ketimbang di Filipina.
Standar kompetensi kerja tenun tradisional yang kemudian disahkan oleh pemerintah, menurut Ketua Cita Tenun Indonesia (CTI) Okke Hatta Rajasa, diharapkan bisa membawa produk lokal ke tingkat global. Sebab, secara logikanya produk dari tenaga kerja yang kompeten tentunya akan sesuai dengan standar nasional. ‘’Sertifikat kompetensi untuk perajin adalah nilai jual mereka,’’ kata dia.
CTI adalah salah satu lembaga pelaksan proyek yang berperan membina perajin tenun di tiga provinsi, yakni Bali (Kabupaten Jembrana), Sulawesi Tenggara (Kabupaten Buton, Kabupaten Muna, Kabupaten Wakatobi, Kota Bau-Bau, dan Kota Kendari), Jawa Tengah (Kota Surakarta, Kabupaten Sukoharjo, Kabupaten sragen, Kabupaten Klaten, Kabupaten Jepara, dan Kota Pekalongan).
Dengan adanya standar kompetensi tenun tradisional, menurut CTI, diharapkan para penenun di Jawa, Papua, atau di mana pun di Indonesia akan memiliki cara kerja yang sama dan memiliki standar keterampilan minimal yang sama. Pembinaan penenun tradisional ini dilakukan CTI sejak 2008 dengan melibatkan para akademisi dan juga praktisi di bidang fashion Tanah Air.
Standar kompetensi kerja tenun tradisional ini, menurut Muchtar Azis dari Direktur Standardisasi Kompetensi Kementerian Tenaga Kerja, bila sudah jadi akan menjadi rujukan lembaga-lembaga pelatihan untuk merumuskan kurikulum. Selain itu juga menjadi patokan bagi tenaga kerja untuk memenuhi prinsip kemampuan dasar.
Konvensi RSKKNI diikuti masyarakat perajin tenun tradisional dan pewarnaan alam, asosiasi, lembaga masyarakat, pemerintahan daerah dan nasional, koperasi dan retail yang terkait berlangsung di sebuah hotel di kawasan Blok M Jakarta, Kamis (20/8). Acara sehari itu diharapkan menuntaskan rancangan yang sudah disusun selama dua tahun ini untuk kemudian diserahkan kepada pemerintah. Adalah pemerintah yang mengesahkan standar kompetensi kerja itu.