REPUBLIKA.CO.ID, KUPANG -- Krisis air bersih yang melanda Nusa Tenggara Timur (NTT) malah dimanfaatkan oknum pejabat di Pemerintah Kabupaten Sikka untuk mengeruk keuntungan. Oknum itu menggunakan fasilitas negara untuk menjual air kepada warga yang sedang mengalami krisis air. Tak tanggung-tanggung harga yang dibandrol mencapai Rp 500 ribu hingga Rp 1 juta per tangki.
Kelakuan itu pun dikecam anggota DPRD NTT, Yucun Lepa. Menurutnya, sikap oknum pejabat ini justru akan memburuk kondisi kehidupan masyarakat di daerah yang sedang mengalami kesulitan air bersih akibat kemarau.
Dia mengemukakan hal itu berkaitan dengan laporan warga dari Desa Iligai, Kecamatan Lela, Kabupaten Sikka yang mengeluh karena di tengah kesulitan air yang dihadapi warga, pemerintah kecamatan justeru menjual dari dengan harga Rp 500 ribu sampai Rp 1 juta per tangki.
"Saya kira masalah ini harus diusut tuntas. Siapa pun pejabat, harus ditindak tegas karena tindakan seperti ini sudah diluar batas kemanusiaan," kata anggota DPRD NTT dari daerah pemilihan Sikka, Ende, Nagekeo dan Ngada, di Kupang, Senin (10/8).
Ia berkata, tugas pemerintah adalah selalu hadir ditengah rakyat yang sedang mengalami kesulitan, dan bukan memanfaatkan kesempatan untuk mencari keuntungan. "Air itu kebutuhan dasar masyarakat dan pemerintah wajib mencari solusi untuk memenuhi kebutuhan itu," katanya.
Musim kemarau yang berdampak pada krisis air bersih di Desa Iligai berakibat kepada masyarakat setempat mengkonsumsi air pisang dan air peri. Namun Kepala Desa Iligai Vincentius Manyo menganggap kondisi tersebut sebagai hal yang biasa saja.
Menurutnya, masyarakat mengkonsumsi air pisang dan air peri sudah dilakukan sejak lama sepanjang berhadapan dengan musim kemarau. Karena itu, buat dia, tidak ada hal yang luar biasa dari mengkonsumsi air pisang dan air peri.
"Dari dulu memang sudah begitu, kalau musim kemarau pasti warga masyarakat minum air pisang dan air peri. Keadaan yang sekarang ini sudah berlangsung kurang lebih dua bulan. Inipun jadi heboh dan luar biasa, bahkan sampai masuk ke televisi karena mungkin wartawan baru melihat realitasnya lalu mempublikasikan," terang Vinventius Manyo.