REPUBLIKA.CO.ID, DENPASAR -- Para pengusaha warung dan pedagang makanan K-5 di Denpasar, Bali mengeluhkan tingginya harga cabe sejak dua pekan terakhir. Padahal cabe menjadi salah satu bahan utama dalam menu masakan yang dijual.
"Kalau berjualan nasi campur kan harus ada sambalnya. Kalau harga cabe sudah mahal, bagaimana. Maka kami kan harus menurangi takaran," kata Rubiati, pemilik warung nasi campur Banyuwangi di kawasan Denpasar, Barat, Ahad (9/8).
Pedagang nasi tempong di kawasan Monang-Maning, Syahrudin, mengemukakan hal senada. Makanan khas Banyuwangi Jawa Timur itu, selama ini mengandalkan citarasa sambal yang pedas. Namun karena takut mengecewakan pelanggan, harga nasi tempong belum naik.
"Masih tetap Rp 6.000 per porsi. Ya untungnya memang semakin tipis," katanya.
Sejak dua pekan terakhir, harga cabe di Denpasar mencapai Rp 70 ribu per kilogram. Harga cabe itu terus menggigit sejak menjelang lebaran, dari sebelumnya yang harganya sekitar Rp 35 ribu per kilogram.
Menurut pedagang sayuran di kawasan Monang-Maning Denpasar, Masturi, harga cabe sudah sangat tinggi. Bahkan dia menjual cabe rawit per bungkusnya dengan isi delapan batang cabe seharga Rp 2.000.
"Kulaannya memang sudah mahal. Jadi saya mau bilang apa lagi. Jualnya juga mahal," katanya.
Kepala Bidang Perlindungan Disperindag Kota Denpasar, Jarot Agung Iswahyudi, membenarkan tingginya harga cabe sejak dua ekan terakhir. Menurut Agung, harga cabe di Denpasar benar-benar pedas dan menggigit.
Jarot menyebutkan, tingginya harga cabe dikarenakan pasokan dari Pulau Jawa berkurang, akibat musim kemarau yang belum berakhir. Dikatakannya, karena kesulitan air untuk meyirami tanaman Lombok, petani harus mengeluarkan biaya mahal mencari air agar hasil panen tetap bermutu.
"Ya otomatis harga jualnya jadi naik. Kami tidak tahu juga, sampai kapan harga cabe akan tetap tinggi, karena tergantung pemasoknya" katanya.