REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Peneliti dari Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Enny Sri Hartati, menyarankan pemerintah agar lebih matang untuk merencanakan kenaikan cukai rokok. Menurutnya, kesalahan mengambil kebijakan dalam menaikkan cukai rokok justru bisa berimbas pada melesetnya target pemasukan negara.
“Cukai itu kita miris karena 95 persen pendapatan cukai itu dari industri hasil tembakau. Di luarnya cuma lima persen. Tak masuk akal sebenarnya. Masa satu negara besar, cukainya tergantung dari perokok? Bagaimana sumber lain? Ini yang harus dibuka,” katanya di Jakarta, Selasa (4/8).
Enny mengakui rokok memang berkaitan erat dengan isu kesehatan. Menaikkan cukai pun merupakan salah satu cara untuk membatasi konsumsi dan produksi rokok. Hanya Enny mengingatkan, ketika keputusan pemerintah menaikkan cukai tak disertai infrastruktur jelas dan hanya menaikkan tarifnya saja tanpa memertimbangkan variabel lain maka yang terjadi adalah turunnya pendapatan cukai negara turun. Menurutnya, bisa-bisa keputusan pemerintah menaikkan cukai rokok justru memicu tumbuhnya industri rokok ilegal dan mematikan pabrik-pabrik rokok resmi.
“Konsumsi rokok itu sifatnya elastis. Artinya orang rela tak makan asal bisa merokok. Artinya juga, kebijakan pemerintah (menaikkan cukai, red) justru mendorong rokok ilegal kemudian produsen mati,” ulasnya.
Enny berharap agar pemerintah bisa menelurkan kebijakan yang menjadi solusi bagi semua pihak. “Yakni target perlindungan konsumsi rokok tercapai, tapi penerimaan negara juga naik dan kesempatan kerja tetap terjaga,” ujarnya.