REPUBLIKA.CO.ID, BOGOR -- Didin Komarudin (43 tahun), bangga dengan profesinya sebagai pengemudi truk penyiram taman. Sebab, ia merasa ikut berpartisipasi langsung dalam menjaga keindahan Kota Hujan, tempat ia dilahirkan.
Sejak 1990, ia telah mengabdi di Dinas Kebersihan dan Pertamanan (DKP) Kota Bogor. Kepada ROL, Senin (3/8), ia berkisah, pekerjaan awalnya di sana bukanlah sebagai pengemudi truk penyiram taman.
"Pernah babat rumput, pengoredan, dan kenek. Sekarang mah driver," ujarnya dengan logat Sunda yang kental.
Pria yang akrab disapa Komeng itu adalah satu dari enam orang tim penyiraman taman Kota Bogor. Tiga unit truk tangki yang dimiliki DKP, masing-masing dipegang seorang pengemudi dan seorang kondektur.
Wilayah tugas penyiraman Komeng dan rekan kondekturnya, Abdul Rohim, melingkupi Bogor Tengah. Dua rute lain, menjadi tanggung jawab Hendi dan Aldi, serta Zainal dan Heri.
Penyiraman taman terjadwal pukul 07.00 hingga 10.30, dan pukul 16.00 sampai 19.30. Namun, tak jarang Komeng dan rekan-rekannya berangkat lebih pagi dan pulang lebih malam.
Sebelum apel pagi, Komeng dan Rohim terlebih dahulu menyirami taman di kantor DKP. Selanjutnya, ia menuju Balai Kota, rumah dinas Wali Kota, dan melaju ke seluruh rute taman di Bogor Tengah.
"Biasanya lebih pagi dan lebih sore untuk menghindari kemacetan juga," kata pria yang mulai diserahi tugas mengemudikan truk di tahun 2008 itu.
Menyirami taman dan ruang terbuka hijau (RTH) seluas empat hektar di enam kecamatan Kota Bogor bukan hal mudah. Musim dan cuaca sangat memengaruhi siklus pekerjaan Komeng dan rekan.
Dalam satu kali penyiraman, ia bisa menghabiskan empat tangki berkapasitas 4.000 liter. Kala kemarau berkepanjangan seperti yang kini terjadi, air yang dibutuhkan meningkat menjadi enam tangki air.
"Satu tangki biasanya habis sekitar 1,5 jam. Kalau habis, kami mengisi dulu baru siram lagi," katanya.
Pengisian dilakukan di sumber air milik DKP di Bogor Tengah. Namun, ada dua titik saluran air tempat Komeng mengisi air yang lebih dekat dengan rute penyiramannya.
Saat iklim dalam kondisi normal, kendala yang dihadapi Komeng di antaranya saat mengisi air di sungai. Ada kalanya sampah tersangkut di selang penyedot air selama proses pemompaan.
"Harus dibersihkan dulu, lalu pompa dinyalakan lagi. Makan waktu. Padahal kalau penyiraman terlalu siang tidak baik untuk tanaman," ucap pria yang bermukim di Kebon Manggis, Paledang, Bogor Tengah, bersama istri dan ketiga anaknya itu.
Selama tujuh tahun di bidang penyiraman taman, Komeng mengatakan ini pertama kalinya Bogor mengalami kemarau hingga dua bulan. Biasanya, ia berujar, panas hanya bertahan sepekan sebelum hujan kembali turun.
Meski merasa aneh, ia tetap optimistis dan menyimpan asa. Ia yakin, Bogor akan kembali seperti sedia kala, seperti sematan namanya selama ini sebagai Kota Hujan.
"Buktinya dua hari ini hujan. Waktu itu hari Jumat ada doa minta hujan di Sempur, sama Allah dikasih hujan hari Minggunya kalau tidak salah," ungkapnya.
Komeng menjalani profesinya dengan kecintaan. Sebisa mungkin ia mengenali karakter tanaman di taman yang ia sirami agar bisa bertahan hidup.
Pria yang menempuh pendidikan formal hingga jenjang SMP itu tidak berharap masyarakat luas menghargai pekerjaannya. Akan tetapi, Komeng berharap siapapun mau ikut berpartisipasi menjaga lingkungan.
Termasuk, tambahnya, para pendatang atau wisatawan di Kota Bogor yang diharapkan tidak merusak tanaman dan merasa ikut memiliki taman. Pria yang kerap ikut mempelajari cara penanaman, pembibitan, dan perawatan flora itu tidak rela melihat tanaman dirusak.
"Kalau di tanaman ada hama ulat, kami bisa bersihkan. Kalau hamanya manusia, tidak ada obatnya. Diberi tahu terkadang melawan," katanya mengeluhkan orang-orang yang sering abai dan merusak keindahan taman, tanaman, dan pepohonan.
Terkait pekerjaannya, Komeng bersyukur telah berstatus sebagai PNS. Ayah tiga anak itu tak menyangka bisa mendapatkan pekerjaan di dinas pemerintahan dan mencapai posisi tersebut.
Ia berkisah, masuk ketika masa transisi Wali Kota Bogor Suratman dan Eddy Gunardi. Pada masa itu, gaji yang ia terima hanya 30 ribu rupiah.
Komeng tetap bertahan dan merasa cukup dengan penghasilan tersebut. Lambat laun, gaji yang ia terima menanjak.
"Dari 30 ribu, jadi 45 ribu, lalu 65 ribu. Waktu saya menikah tahun 2003, gaji saya 300 ribu rupiah. Sekarang Alhamdulillah cukup untuk keluarga," tuturnya qana'ah.