Senin 03 Aug 2015 23:55 WIB
Muktamar NU

Ini Calon Kuat Kandidat Ketua PBNU (2)

Rep: c35/ Red: Agung Sasongko
Gus Sholah
Foto: ROL/Fian Firatmaja
Gus Sholah

REPUBLIKA.CO.ID, JOMBANG -- Pria yang akrab disapa Gus Sholah ini merupakan pengasuh Pondok Pesantren Tebuireng Jombang. Pria kelahiran Jombang, 11 September 1942 ini adalah seorang aktivis, ulama, politisi, dan tokoh Hak Asasi Manusia (HAM) di Indonesia. Pada masa mudanya dia pernah menjadi Wakil Ketua OSIS SMAN 1 Jakarta dan Wakil Ketua Persatuan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII).

Ulama lulusan Institut Teknologi Bandung ini adalah putra dari pasangan KH Wahid Hasyim (ayah) dengan Sholehah (ibu), yang merupakan adik kandung dari mantan Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Sedangkan kakeknya adalah seorang ulama besar, pendiri Nahdlatul Ulama (NU), Hadratusy Syaikh KH Hasyim Asy’ari.

Selama karir politiknya Gus Sholah pernah menjadi anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) pada masa awal reformasi 1998. Dia juga pernah menjadi Ketua Umum PBNU periode 1999-2004. Dia juga sempat mencalonkan diri sebagai wakil presiden RI bersama Wiranto pada tahun 2004.

Ia menuturkan sebenarnya tidak minat untuk maju lagi sebagai ketua umum PBNU, karena dia sadar usianya sudah mencapai 73 tahun. Namun karena dia sudah didatangi banyak kiai dan ulama, termasuk KH Hasyim Muzadi. Mereka meyakinkan Gus Sholah supaya bersedia dicalonkan menjadi Ketua Umum PBNU. Sebelumnya, sejumlah PCNU dan PWNU juga telah menyatakan dukungan terhadapnya.

Terkait dengan sistem pemilihan Ahlul Halli Wal 'Aqdi (AHWA), dia yang termasuk menolak penggunaan sistem tersebut dalam memilih Rais 'Aam. Menurut sebagian kalanngan konsep tersebut yang akan digunakan dalam muktamar kali ini bertujuan untuk menangkal politik uang.

Namun, Gus Sholah tidak sependapat, karena menurutnya untuk menangkal politik uang hanya dengan menahan calon muktamar ke-32 yang sudah melakukan politik uang untuk tidak mencalonkan diri lagi pada muktamar kali ini.

Gus Sholah menginginkan NU sebagai organisasi keagamaan yang netral dan tidak berpolitik. Karena itulah, diperlukan pematangan organisasi serta kaderisasi yang lebih baik. Sebagai organisasi Islam terbesar, dia menilai, NU mesti punya prioritas agar perannya semakin nyata untuk negara.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement