REPUBLIKA.CO.ID, MAKASSAR -- Ketua Umum Pengurus Pusat Muhammadiyah Din Syamsuddin menilai praktik politik uang memiliki dampak daya rusak kuat terhadap kualitas demokrasi dan berpotensi mendorong demoralisasi rakyat.
"Ini merupakan salah satu dampak sisi negatif dari muncul kekuatan ekonomi baru yang dikuasai kaum minoritas," kata Din Syamsuddin ketika menyampaikan pidato iftitah pada sidang pleno pertama di Muktamar Muhammadiyah ke-47 di kampus Universitas Muhammadiyah, Makassar, Senin (3/8) malam.
Sidang pleno pertama dipimpin oleh tokoh Muhammadiyah, Malik Fadjar. Menurut Din Syamsuddin, munculnya kekuatan ekonomi baru merupakan bagian dari perkembangan pada era reformasi yang lahir di Indonesia sejak tahun 1998.
Din menjelaskan, era reformasi mendorong arus liberalisasi, tapi juga membawa kecenderungan lain yang berdampak pada peran organisasi kemasyarakatan (ormas). Din menilai, paling tidak ada tiga dampak terhadap peran ormas, pertama, menguatkan kecenderungan hidup individualistik, materialistik, dan hedonistik dalam masyarakat.
Hal ini, kata dia, menjadi tantangan dakwah dan kendala besar bagi perwujudan masyarakat Islam yang sebenar-benarnya. Kedua, tumbuhnya perekonomian nasional yang memunculkan kekuatan ekonomi baru, yang walaupun minoritas tapi menguasai mayoritas aset ekonomi.
"Akibatnya, kekuatan uang merajalela yang mendorong pemilik modal memasuki dunia politik, sehingga terjadi praktik politik uang," katanya.
Praktik politik uang ini, menurut Din, membawa daya rusak kuat terhadap kualitas demokrasi dan berpotensi mendorong demoraliasi rakyat. Ketiga, amandemen konstitusi yakni UUD 1945 memberikan konsekuensi kepada partai politik memiliki kewenangan besar dalam menentukan keputusan politik strategis.
"Maka proses politik dimonopoli oleh partai-partai politik," katanya.
Pergeseran fatsun politik ini, menurut Din, sering kali anggota dari ormas terseret kepada kepentingan partai-partai politik, menjadi subordinat partai politik atau menjadi pelengkap penderita dalam kehidupan politik.