Selasa 04 Aug 2015 06:49 WIB

RUU Minol Sebaiknya Mengendalikan Peredaran Miras

Alat berat memusnahkan ribuan botol minuman keras (miras) di Silang Monas, Jakarta, Selasa (7/7).  (Republika/Yasin Habibi)
Alat berat memusnahkan ribuan botol minuman keras (miras) di Silang Monas, Jakarta, Selasa (7/7). (Republika/Yasin Habibi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Rancangan Undang-Undang (RUU) Larangan Minuman Beralkohol (Minol) atau biasa dikenal mnuman keras (Miras) telah rampung dalam tahap pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan di tingkat Panja Badan Legislasi DPR. Hanya saja, RUU Minol tersebut harus dikaji kembali sebelum disahkan menjadi Undang-Undang. Sebab, RUU Minol harus memperhatikan berbagai aspek seperti pendapatan negara, dan ketenagakerjaan.

"Sebelum di sahkan sebaiknya RUU ini harus dikaji kembali. Sebab, aspek pendapatan negara dan ketenagakerjaan harus dipikirkan sebelum RUU ini disahkan menjadi undang-undang," kata Koordinator Barisan Rakyat Anti Korupsi dan Kriminalisasi Hans Suta Widhya di Jakarta, Senin (3/8/2015).

Dia sepakat, efek negatif dari minol atau miras memang harus diperhatikan agar tidak berdampak buruk terhadap masyarakat. Tetapi, aspek ketenagakerjaan dan lapangan pekerjaan juga harus dilihat bila pelarangan total produksi dan distribusi miras dilakukkan.

Pasalnya, hal tersebut bisa memunculkan jutaan pengangguran baru dari ditutupnya perusahaan-perusahaan tempat mereka bekerja. "Karena itu saya menyarankan agar RUU tersebut tidak berjudul pelarangan, tetapi pengendalian minol atau miras," ujarnya.

Dengan pengendalian, lanjut dia, efek negatif dari miras atau minol itu sendiri bisa ditekan dengan tidak menumbalkan jutaan tenaga kerja yang bekerja disektor terkait. Ia menuturkan, berdasar riset CSIS pada 2015, pelarangan total, seperti produksi dan konsumsi berakibat hilangnya pendapatan negara sebesar Rp 21,82 triliun atau setara 0,11 persen dari pendapatan negara dari seluruh sektor terkait.

"Jumlah tersebut tidak termasuk pendapatan cukai minuman beralkohol sebesar Rp 4,9 triliun (2014) atau Rp 6 triliun (target 2015). Bahkan, pendapatan dari sektor jasa restoran dan perhotelan akan hilang Rp 1,4 triliun karena aktifitas produksi dan distribusi terhenti," jelas Hans.

Tak hanya itu, Hans menjelaskan, lebih dari 100 ribu tenaga kerja akan kehilangan pekerjaan yang meliputi tenaga kerja langsung dan tenaga kerja sektor terkait, seperti pengangkutan, distribusi, hingga pertanian.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement