Ahad 02 Aug 2015 17:41 WIB

Pilkada di Jember Dinilai Bukti Pragmatisme Politik

Bendera partai politik (ilustrasi)
Foto: PDK.OR.ID
Bendera partai politik (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JEMBER -- Pengamat politik Universitas Jember M Nur Hasan menilai pemilihan kepala daerah Jember, Jawa Timur, merupakan bukti pragmatisme partai politik karena tidak satupun partai mengusung kader internal sendiri.

"Melihat fenomena itu, parpol gagal menghadirkan kader mereka dalam ajang pilkada. Tidak ada satu pun bakal calon bupati dan wakil bupati dari kader partai politik," kata Nur Hasan di Jember, Ahad (2/8).

Pilkada Jember diikuti oleh dua pasangan calon kepala daerah yakni Sugiarto (Sekretaris Kabupaten Jember)-Dwi Koryanto (Plt Direktur RSD dr Soebandi Jember) yang didukung Partai Gerindra, PKS, Partai Golkar, PPP, Partai Demokrat, dan PKB dan pasangan Faida (Direktur RS Bina Sehat Jember)-Muqit Arief (Pengasuh Pesantren) yang didukung Partai Nasdem, Hanura, PAN, dan PDIP.

"Dengan kondisi itu, proses kaderasisasi di internal parpol juga patut dipertanyakan selama ini, termasuk parpol yang memiliki basis massa karena tidak satupun kader partai untuk maju dalam Pilkada, sehingga pragmatisme parpol yang muncul," paparnya.

Ia mengatakan kegagalan parpol mengusung kader dalam pilkada sebagai bentuk kemunduran partai dalam melakukan kaderisasi kepemimpinan karena para politisi saat ini cenderung pragmatis. "Krisis kader yang dialami parpol saat ini tentu sangat mengkhawatirkan, sehingga praktek transaksional dalam pilkada sangat terbuka lebar," ujarnya.

Dosen Ilmu Hubungan Internasional itu mengatakan Pilkada Jember rentan politik uang karena kandidat peserta pilkada tidak memiliki basis massa riil di tingkat bawah. "Kedua pasangan tidak memiliki basis dukungan tingkat bawah yang memiliki hubungan ideologis seperti kader partai politik," tuturnya.

Ia mengatakan kedua pasangan calon kepala daerah itu didukung parpol, namun hanya di tingkat elit dan tidak sampai ke bawah, sehingga hal itu akan membuat praktek politik uang semakin besar sampai di tingkat bawah.

"Sejauh ini parpol menjadi kendaraan politik bagi orang luar dan tentu ada mahar-mahar politik ketika orang luar menumpang di kendaraan parpol yang bersangkutan," ucap pengajar FISIP Universitas Jember itu.

Ia menjelaskan kesepakatan tersebut terjadi antara elit parpol dan calon, dan kecil kemungkinan melibatkan kelompok di kalangan menengah ke bawah, sehingga diprediksi marak terjadi politik uang.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement