Rabu 29 Jul 2015 21:21 WIB

Pemimpin Tercela

Arif Supriyono
Foto: dok pribadi
Arif Supriyono

Oleh: Arif Supriyono

Wartawan Republika

Panggung politik mulai marak. Semua partai politik mulai mengambil ancang-ancang untuk mengajukan calon mereka sebagai kepala daerah menyongsong pemilihan kepala daerah serentak yang akan mulai dihelat akhir Desember 2015 ini.

Tokoh-tokoh baru bermunculan. Ada beberapa calon dari kelompok muda usia, namun ada pula calon yang berasal dari kelompok yang sudah matang secara politik. Tentu saja para petahana juga banyak yang ikut bertarung untuk merebut posisi kembali sebagai kepala daerah.

Beberapa calon mengikrarkan diri dan berjanji untuk membawa warganya ke dalam kehidupan yang semakin sejahtera dan pemerintahannya pun bersih dari korupsi. Dalam era sekarang ini, komitmen untuk memerintah secara bersih dan menghindari korupsi sangatlah penting. Sebagian kalangan masyarakat bahkan menganggap bahwa bersih dari korupsi merupakan salah satu syarat utama.

Seorang teman yang juga lulusan program studi pemerintahan di Universitas Gajah Mada Yogyakarta pernah berujar, bahwa menjalani tugas sebagai kepala daerah pada masa sekarang ini sebenarnya sangat mudah. Saya sempat mendebat pendapat itu, namun teman saya ngnotot dan menjelaskan alasannya.

Menurut teman saya tadi, di tengah perilaku korup yang nyaris menerpa seluruh pemimpin dan birokrasi negeri ini, maka jika ada satu kepala daerah yang bersih dari korupsi akan dengan mudah terlihat oleh masyarakat luas. Bahkan, meskipun sang kepala daerah itu tak terlalu menonjol prestasinya, asal bersih dari korupsi, maka dia akan menjadi sorotan khalayak atau media.

Sekilas ada benarnya apa yang menjadi pendapat teman saya tadi. Kasus korupsi di negeri ini sudah sedemikian menggurita dan seolah sudah berurat-berakar dalam diri birokrasi kita. Karena itu, tampilnya pemimpin bersih menjadi kebutuhan bagi upaya untuk membangun masa depan bangsa yang lebih beradab dan bermartabat.

Ironisnya, saringan penyangga atau benteng pengaman bagi munculnya calon-calon bermasalah justru kurang mendapat perhatian. Lihat saja kasus yang terjadi di Semarang, Jawa Tengah.

Mantan wali kota Semarang yang pernah menjadi terpidana korupsi masih mendapat tempat terhormat untuk maju lagi sebagai calon kepala daerah. Semestinya, partai politik lebih teliti dalam memilih calon sehingga tak begitu saja menerima kandidat dengan latar belakang atau rekam jejak yang kelam.

Pada masa lalu, ada partai politik yang mensyaratkan calon pemimpinnya untuk memenuhi kriteria atau unsur: akseptabilitas, kapabilitas, akuntabilitas, dan tidak tercela. Walau pelaksanaannya belum tentu sempurna, namun paling tidak adanya batasan itu membuat mereka yang tak memenuhi unsur tersebut menjadi agak gamang untuk terus maju sebagai calon.

Anehnya, justru di masa sekarang unsur tidak tercela itu tak lagi menjadi bagian penting bagi seleksi calon pemimpin. Mari kita tengok drama lain di panggung politik kita. Para terdakwa korupsi di negeri ini bak seorang selebritas. Mereka justru seolah bangga bisa tampil di depan publik meski menyandang status koruptor. Senyum manis tetap mereka tebar di hadapan khalayak. Tak ada rasa risih dan malu pada mereka yang telah menjadi tersangka kasus korupsi walau wajahnya disorot banyak kamera.

Mereka tetap tampil percaya diri sebagaimana layaknya orang penting di negeri ini. Para mantan koruptor yang mestinya menghindari kemunculan di depan umum, justru tak mereka lakukan. Mereka tetap percaya diri dan malah membutuhkan ruang publik untuk berkiprah lebih lanjut.

Ada tokoh yang dikenal terkait dengan pelbagai tindak pidana korupsi namun mendapat tempat terhormat di sebuah partai politik besar. Tokoh ini (Nurdin Halid) sempat menjadi terdakwa korupsi pengadaan minyak goreng, lalu divonis bebas oleh pengadilan.

Pernah pula ia terjerat korupsi kepabenanan karena dituding mengeluarkan 59.000 ton beras Vietnam tanpa persetujuan Ditjen Bea dan Cukai dengan tuduhan menghindari bea masuk Rp 25,4 miliar dan pajak penghasilan Rp 3,1 miliar. Sempat pula tokoh ini menjadi tersangka dalam korupsi impor gula dari Thailand dan dituntut 10 tahun penjara, namun akhirnya dibebaskan oleh pengadilan.

Sampai akhirnya Mahkamah Agung menjatuhkan vonis lain untuk tokoh ini. Dia didakwa menyelewengkan dana Bulolg senilai Rp 169 miliar dan dijatuhi hukuman 2 tahun penjara. Kini tokoh tersebut telah bebas dan menjadi salah satu wakil ketua umum Partai Golkar. Bukan tak mungkin kelak tokoh itu akan menjadi salah satu pemimpin negeri ini, meski rekam jejaknya pernah meninggalkan bekas sebagai koruptor.

Hal yang hampir sama juga terjadi pada salah satu tokoh yang kini banyak disuarakan sebagaian kalangan untuk maju sebagai calon presiden mendatang (Tommy Soeharto). Menurut saya, kasus yang menimpa tokoh terakhir ini juga sangat berat. Ia terlibat perencanaan pembunuhan terhadap hakim agung Syafiuddin Kartasasmita pada 26 Juli 2001. Sebelumnya Syafiuddin pernah menjatuhkan hukuman 18 bulan penjara dan denda Rp 30,6 miliar pada sang tokoh ini lantaran kasus tukar guling tanah milik Bulog dengan PT Goro Batara Sakti.

Atas kasus pembunuhan hakim agung itu, dia divonis 10 tahun penjara oleh Mahkamah Agung dan sempat melarikan diri. Sang tokoh ini lalu menjalani hukuman dan --setelah mendapat remisi-- keluar dari penjara pada 2008.  

Selama aturan yang ada memungkinkan mereka untuk tampil sebagai calon kepala daerah atau presiden, tentu tak ada kendala yang bisa menghalanginya. Artinya para mantan koruptor atau mantan pembunuh pun bisa menjadi pemimpin di masa mendatang dan itu sah-sah saja. Paling-paling kita hanya bisa menngritik dan mengecamnya. Namun, bagi saya pribadi, akan lebih baik bila calon pemimpin negeri ini --apa pun tingkatannya-- bukanlah mereka yang pernah terlibat tindak pidana dengan kategori berat: pembunuhan, korupsi kelas tinggi, pemerkosaan, dan terjerat jaringan narkoba.

Imbauan atau pengungkapan data-data tersebut pada masyarakat saja tak cukup. Perlu ada aturan yang memungkinkan untuk menyaring mereka yang pernah terlibat kasus berat semacam itu agar tak bisa lagi menjadi pejabat publik.

Sudah barang tentu ada kriteria tersendiri untuk melakukan pembatasan dan tak bisa disamaratakan antara satu kasus dengan lainnya. Dalam pandangan saya, itu bukan penghilangan hak asasi seseorang akan tetapi aturan main yang mengedepankan etika dan moral dalam kehidupan masyarakat yang bermartabat.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement