REPUBLIKA.CO.ID,BANDUNG -- Ketahanan keluarga menjadi salah satu faktor penting dalam menekan angka kekerasan terhadap anak.
"Keluarga, sebagai basis terdekat kehidupan bermasyarakat, menjadi salah satu faktor penting dalam mengantisipasi kekerasan anak," ujar Kepala Perwakilan Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Jawa Barat Sugilar, Jumat (24/7).
Sugilar mengatakan, ketahanan tersebut dibangun dengan komunikasi yang kuat antaranggota keluarga, saling pengertian dan memahami satu sama lain.
Apabila setiap anggota keluarganya berkomunikasi dengan baik dan dekat, ujarnya, maka satu sama lain akan terbuka. Jadi, saat ada persoalan yang sensitif, bisa di deteksi lebih dini dan dicarikan solusinya.
Menurut Sugilar, orang tua harus sadar, bahwa anak adalah tanggung jawab yang besar. Kehidupan rumah tangga tentunya bukan didasarkan pada materi saja, tetapi juga bentuk saling perhatian sesama anggota keluarga.
Keterbukaan, kata Sugilar, juga dipengaruhi dari cara berkomunikasi keluarga. Jika komunikasi ini kuat, maka keluarga bisa saling memahami, mengerti, dan saling menjaga. Hal itu bisa meminimalisir kekerasan baik yang terjadi pada orang tua maupun anak.
"Beruntung jika anak lari pada hal positif. Tapi, bagaimana jika hal itu sebaliknya," katanya.
Kesibukan yang dijalani, kata dia, sebaiknya tetap memiliki waktu yang berkualitas untuk berkomunikasi dengan keluarga. Meski pun komunikasi saat ini dipermudah dengan gadget. Namun, kualitas tatap muka tetap tak kalah pentingnya.
Menurut Sugilar, orang tua yang sibuk, diharapkan bisa berkomunikasi secara langsung dengan anak, minimal 1-2 jam sehari. Selain itu, orang tua pun harus turut mengenal lingkungan anak di luar rumah.
Dengan dasar keterbukaan, anak diharapkan bisa bercerita apa pun kepada orang tuanya, tanpa harus merasa takut. Begitu pun orang tua, harus bisa membekali anak dengan ajaran-ajaran yang baik, dan mencontohkan hal tersebut pada anak.
Namun, kata Sugilar, peran orang tua saat ini belum dioptimalkan secara maksimal dalam mendidik anak. Hal itu dilihat dari kurang sinerginya keterlibatan orang tua dalam proses pendidikan anak baik di dalam rumah maupun di lingkungan sekolah.
Psikolog Perkembangan dari Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Tina Hayati Dahlan, berbagai kasus negatif yang berdampak pada anak, diawali dari kurangnya pendidikan anak di dalam keluarga. Menurutnya, keluarga merupakan pondasi yang harus dibangun secara kuat.
"Pendidikan dalam keluarga jadi benteng utama anak dalam menghadapi lingkungan di luar rumah," katanya.
Jika pendidikan keluarganya kuat, kata dia, maka anak pun akan kuat menghadapi pengaruh lingkungan di luar rumahnya.
Misalkan saja, kata Tina, dalam masa orientasi sekolah, biasanya sekolah hanya menyiapkan anak untuk masuk ke lingkungan sekolah. Tapi sekolah lupa bahwa orang tua pun harus dipersiapkan mentalnya, agar ketika anak dididik di sekolah orang tua juga bisa mendukung pendidikannya di rumah.