Jumat 24 Jul 2015 06:00 WIB

Memuji Kedewasaan Umat

Nasihin Masha
Foto: Republika/Daan
Nasihin Masha

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Nasihin Masha

Banyak hikmah yang bisa diambil dari tragedi Tolikara, Papua. Upaya menggagalkan shalat Idul Fitri, Jumat (17/7), oleh orang-orang Kristen berakhir dengan tragedi. Mereka melempari umat Islam yang sedang bersiap melaksanakan shalat di halaman Koramil setempat. Mereka terus bergerak merangsek. Polisi yang berjaga segera mengamankan. Awalnya melakukan tembakan peringatan, kemudian melakukan tembakan ke massa yang menyerbu.

Ada 11 yang luka-luka dan seorang remaja meninggal dunia. Massa juga membakar kios-kios, ada 54 kios, yang juga melumat Masjid Baitul Muttaqin. Sebagian besar kios milik umat Islam, sebagian lagi milik umat Kristen.

Kejadian itu menimbulkan trauma. Ratusan warga yang mengungsi tinggal di tenda-tenda di kawasan Koramil. Para pengungsi itu adalah pemilik kios yang juga dijadikan sebagai tempat tinggal maupun warga yang trauma. Ada ketakutan.

Bagi umat Islam, kejadian ini seolah mengulang kerusuhan Ambon. Saat itu, 19 Januari 1999, juga hari pertama Idul Fitri. Umat Islam, terutama yang bukan berdarah Ambon, meninggalkan Maluku. Banyak korban jiwa dari umat Islam.

Aparat keamanan yang dalam keadaan lemah-dampak gerakan reformasi dan transisi rezim- tak mampu mengendalikan situasi. Hal itu mengundang hadirnya Laskar Jihad dari wilayah lain. Akhirnya Ambon menjadi medan pertempuran sipil. Kerusuhan juga meluas ke pulau-pulau lain di kepulauan Maluku.

Kini, Indonesia dalam keadaan damai. Memang sejak Pemilu 2014 politik nasional memanas. Pemerintahan agak lemah karena tak menguasai mayoritas di parlemen dan tak punya kendali di partai. Namun, aparat keamanan dalam kondisi terkonsolidasi dengan baik. Tindakan tegas polisi patut dipuji. Jika sampai tak terkendali, situasinya bisa eskalatif menjadi rusuh di berbagai tempat lain.

Memang patut dipertanyakan mengapa tak menggunakan gas air mata ataupun water canon. Apakah tak tersedia? Juga patut dipertanyakan efektivitas pemda dalam cegah dini.

Tragedi ini berawal dari surat Gereja Injili di Indonesia (GIDI). Gereja ini lahir di Tolikara. Namun, memiliki jaringan yang luas di Papua, terutama menguasai wilayah tengah Papua dan pegunungan. Bahkan, memiliki cabang di berbagai wilayah di Indonesia. Gereja ini termasuk besar. Pengaruhnya di bidang politik juga cukup kuat, setidaknya ada delapan bupati dan seorang gubernur yang menjadi jemaat GIDI. Dalam hal ini bahkan ormas-ormas Islam yang besar pun tak memiliki anggota organiknya sebanyak itu yang menduduki jabatan kepala daerah.

GIDI wilayah Tolikara berkirim surat agar shalat Id tak dilakukan di lapangan, tidak menggunakan speaker, dan tidak mengenakan jilbab. Pada saat bersamaan, ada Seminar dan Kebaktian Kebangunan Rohani Pemuda GIDI. Pesertanya tak hanya dari Papua, tapi juga dari seluruh cabang GIDI di Indonesia serta utusan dari luar negeri.

Surat itu ditujukan ke bupati, polisi, dan pihak-pihak terkait lainnya. Karena itu, mereka membahas surat tersebut. Umat Islam tetap melaksanakan shalat di lapangan. Masjid itu terlalu kecil, tak mampu menampung jamaah shalat Id. Akhirnya terjadilah aksi itu. Shalat Id yang setiap tahun dilaksanakan di lapangan itu berubah menjadi malapetaka.

Di media terjadi sengkarut informasi. Masjid disebut mushala. Surat dikatakan palsu. Rusuh karena faktor speaker. Sumbernya tentu dari pejabat tinggi negeri ini. Umat menjadi resah. Seolah ada pengerdilan, pengabaian, bahkan dipersalahkan. Namun, selalu ada pejabat-pejabat yang sehat dan tetap jernih sehingga bisa menjadi rujukan dan memberikan kepastian. Pemerintah juga bertindak cepat untuk mendamaikan dan akan membangun kembali masjid dan kios yang hangus. Kapolri, Mendagri, dan Mensos bertandang ke Tolikara.

Pada sisi lain, umat Islam yang selama ini dikenal mudah terprovokasi dan mudah menjadi buih mampu bertindak dewasa. Imbauan untuk tak terprovokasi dan tenang terus didengungkan. Para ulama dan pemimpin umat segera berkonsolidasi menentukan langkah bersama. Semuanya berpikir solutif dan konstruktif, di antaranya dengan membentuk Komite Umat untuk Tolikara (Komat). Mereka fokus untuk menyantuni, mendampingi, dan membangun kembali rasa percaya diri umat di Tolikara.

Dengan semangat keindonesiaan dan persatuan, mereka fokus pada tugas sosial dan keagamaan. Tentu mereka memegang janji pemerintah untuk menegakkan hukum dan menangkap dalangnya. Kasus ini, seperti disampaikan petinggi kepolisian, ada dimensi politiknya. Ini bukan semata isu agama, melainkan juga berdimensi isu integrasi nasional.

Kesigapan para ulama dan pemimpin umat ini juga agar jangan sampai tragedi Tolikara ini dimanfaatkan oleh sel-sel teroris yang lagi tidur untuk bangun memanfaatkan momentum. Juga untuk mencegah kelompok-kelompok garis keras untuk bertindak anarki. Itu pun tetap menimbulkan letupan-letupan di gereja GIDI di Solo maupun gereja lain di Purworejo dan Bantul.

Kasus Tolikara harus menjadi hikmah dan momentum bagi umat untuk berkiprah secara lebih baik lagi dalam masalah keumatan dan kebangsaan. Indonesia adalah milik seluruh elemen, bukan milik kelompok tertentu. Dari ujung timur hingga ujung barat, dari ujung utara hingga ujung selatan. Indonesia akan mudah maju dan sejahtera jika seluruh elemen bersatu dalam semangat proklamasi. Segala perbedaan harus menjadi kekuatan, bukan menjadi titik lemah. Semakin banyak unsur semakin indah paduannya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement