Jumat 17 Jul 2015 18:24 WIB

GP Ansor minta Pembakaran Mushala di Papua Diusut Tuntas

Nusron Wahid
Foto: Republika/Agung Supriyanto
Nusron Wahid

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Umum Gerakan Pemuda Ansor (GP Ansro) Nusron Wahid mengecam keras aksi pembakaran mushala yang terjadi di Kabupaten Tolikara, Papua, ketika jamaah di dalamnya bersiap takbir shalat Idul Fitri, Jumat (17/7) pagi. Terlebih, selain mushala beberapa kios dan rumah warga juga dibakar oleh pelaku tak bertanggung jawab tersebut.

Polisi pun diminta mengusut tuntas aksi tersebut agar tidak melebar ke konflik dan kerusuhan yang mengatasnamakan agama. "Kebebasan beragama dan menjalankan ibadah dijamin oleh konstitusi negara ini. Siapapun dan atas nama apapun tidak boleh ada yang mengganggu, apalagi sampai membakar tempat ibadah," kata Nusron dalam keterangannya, Jumat.

jumat pagi, sekelompok orang tak dikenal melakukan pembakaran mushala di Tolikara ketika jamaah di dalamnya bersiap takbir Salat Idul Fitri. Selain mushala, beberapa rumah dan kios juga ikut dibakar. Atas kejadian itu, warga yang hendak melakukan shalat ied di Lapangan Koramil Tolikara terpaksa membubarkan diri karena takut menjadi sasaran amuk massa. 

Menurut Nusron, meski peristiwa itu tidak memakan korban jiwa maupun korban luka, tetapi sangat nyata tindakan itu melukai kehidupan umat beragama. Untuk itulah, meskipun kondisinya saat ini sudah kondusif, tetapi aparat keamanan harus mengusut pelaku untuk mempertanggungjawabkannya di hadapan hukum.

"Jangan sampai ini meluas menjadi konflik agama. Hukum harus ditegakkan, dan negara wajib menjamin warganya dalam menjalankan ibadah," ujarnya.

Nusron mengatakan, kasus pembakaran mushala serta beberapa kios dan rumah harusnya tidak terjadi. Apalagi, saat ini sedang momentum Lebaran yang harusnya saling memaafkan. Maka dari itu, dia menilai tindakan tersebut sebagai perbuatan biadab yang tidak bisa ditoleransi.

"Sungguh biadab dan mengusik rasa ketenangan sebagai sebuah bangsa," tukasnya.

Atas kasus tersebut, Nusron melihatnya sebagai pembelajaran bagi bangsa Indonesia, bahwa tidak ada tirani minoritas dan diktator mayoritas. Yang mayoritas, kata dia, tidak boleh semena-mena.

"Harus ada empati. Yang di basis Islam mayoritas Muslim tidak boleh sewenang-wenang, juga non-Muslim yang mayoritas di basisnya jangan semena-mena," papar dia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement