Rabu 15 Jul 2015 06:22 WIB

Selamatkan Pendidikan Dasar Kita!

Red: M Akbar
Kemdiknas menegaskan bahwa anggaran pendidikan dasar tetap yang terbesar
Kemdiknas menegaskan bahwa anggaran pendidikan dasar tetap yang terbesar

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Abdul Ghafur, ST., M.Ed (Alumni Hiroshima University)

Hasil Ujian Nasional (UN) telah diumumkan. Setelah SMA dan SMP, terakhir jenjang SD mengikutinya. Saya sebagai orang tua yang anaknya ikut UN SD hanya menanggapinya biasa-biasa saja. Tak ada rasa khawatir berlebih kalau anak saya tidak lulus. Begitu juga dengan kecemasan jika nilai UN-nya jelek sehingga membuatnya susah untuk masuk ke sekolah negeri pilihan.

Sejak jauh hari, saya memang sengaja telah mendaftarkannya ke sekolah swasta. Di sana, ia sudah diterima. Tentunya, harus dengan cara mengelus dada. Mengapa? Karena saya harus merogoh kocek dalam-dalam untuk membiayai anak saya masuk ke sekolah swasta tersebut.

Tapi yang hendak saya sampaikan di sini, bukanlah umbar-mengumbar rasa deg-degan hasil UN anak saya yang sudah lewat. Justru hasil UN itulah yang menyemburatkan rasa miris. Merujuk informasi yang saya peroleh, ternyata peringkat 10 besar hasil UN SD di kota saya tinggal itu didominasi oleh sekolah swasta. Perlu diketahui, saat ini saya bermukim di Depok. Di daerah ini, hanya ada 2 sekolah negeri saja yang mampu bersaing masuk di 10 peringkat ini. Tapi itu pun bukan berada diurutan awal. Hmm...

Informasi yang saya peroleh, terdapat 405 SD di kota tempat saya tinggal. Dari jumlah tersebut, sekolah negeri mendominasi secara jumlah. Sekolah swasta hanya beberapa persennya saja. Dengan komposisi mayoritas, sepatutnya sekolah negeri yang menguasai peringkat 10 besar. Kenyataannya ternyata tidak demikian. Prestasi sekolah negeri justru terpuruk. Bukan tahun ini saja, tapi sudah terjadi padra tahun-tahun sebelumnya.

Faktor apa yang menjadi penyebabnya? Ada banyak yang bilang karena kesejahteraan guru swasta lebih tinggi dibanding guru di sekolah negeri. Masa iya? Bukankah sekarang ini sudah ada sertifikasi guru sehingga membuat kesejahteraan guru-guru PNS jauh lebih baik dibandingkan dulu?

Lantas benarkah premis guru swasta itu sungguh bergelimang gaji besar dibandingkan guru PNS? Ah, siapa bilang mereka lebih sejahtera. Dari hasil bisik-bisik tetangga terungkap para guru sekolah swasta itu justru banyak yang 'menggemaskan' secara gaji. Padahal, biaya sekolah swasta itu tidaklah murah. Jadi kemanakah uang itu mengalir? Ya pemilik yayasanlah yang lebih tahu, tentunya.

Terlepas dari urusan gaji, sesungguhnya persoalan terpuruknya kualitas sekolah negeri ini tak boleh dibiarkan begitu saja. Khususnya SD yang menjadi peletak pendidikan dasar. Jika ini dibiarkan terus, tentu saja hal ini dapat menghancurkan dari segi sistem dan tujuan pendidikan nasional itu sendiri.

Awal Kehancuran

Kehancuran itu telah dimulai ketika banyak orang tua yang enggan untuk memasukkan anak-anaknya ke sekolah negeri. Mereka lebih percaya dan memilih sekolah swasta untuk pendidikan dasar anak-anak mereka. Saat itulah kian menguatnya keyakinan sekolah negeri kualitasnya sungguh “mengerikan” bagi masa depan anak-anak mereka. Alhasil, bisa jadi sekolah-sekolah negeri akan kehilangan banyak murid. Jika kondisinya demikian, semoga saja kita tidak terdengar adanya penutupan sekolah negeri.

Di sisi yang lain, ketika permintaan ke sekolah swasta meningkat hal ini justru menyisakan persoalan. Bagi orang-orang bermodal besar, ini adalah peluang yang menggiurkan. Mereka bakal berlomba-lomba mendirikan sekolah baru karena berpotensi besar menjadi ATM di masa depan. Dalam benaknya, sekolah adalah kendaraan tepat untuk mendulang rupiah.

Kondisi ini diperkuat karena tipikal orang tua siswa adalah konsumen yang lemah. Mereka tidak berkutik jika sekolah swasta meminta biaya ini dan itu. Keluhan-keluhan dan segala macam curhatan orang tua dibanyak kasus hanya menjadi obrolan warung kopi yang tidak memberikan efek perubahan apa-apa. Mereka terperah, tak berdaya dihadapan pengelola yayasan.

Kalau sudah begini, masyarakat luas yang dirugikan. Mereka tidak bisa lagi menikmati layanan pendidikan dasar yang murah dan berkualitas. Pendidikan terkepung oleh naluri-naluri pengejaran profit semata sekelompok orang. Atau kalau bukan profit yang dikejar maka motif penanaman ideologi tertentu dari sekelompok gerakan.

Dalam masyarakat timbul pembedaan-pembedaan golongan. Orang tua yang berkemampuan secara ekonomi akan memasukkan anaknya ke sekolah bagus dan mahal. Dan itu identik dengan sekolah yang berkualitas dimana ATM bank pun disediakan di lokal sekolah. Sedang orang tua yang tidak diuntungkan secara finansial akan terpaksa menyekolahkan anaknya di sekolah apa adanya dan murah.

Sebenarnya ujung-ujungnya negara juga yang rugi. Coba pikirkan, bisa jadi akan banyak masalah sosial akibat pembedaan kelas masyarakat. Selanjutnya, negara berpotensi kehilangan anak berbakat potensial yang karena ketidakmampuan ekonomi orang tuanya pada akhirnya hanya bisa bersekolah dengan kualitas apa adanya.

Kemudian, negara kehilangan waktu terbaik anak untuk menanamkan sikap nasionalisme kebangsaan kepada generasi-generasi penerus. Menanamkan sikap yang paling efektif pada saat anak-anak berada di pendidikan dasar. Dan masih banyak lagi seperti kehilangan daya beli masyarakat kelas menengah karena pengeluaran mereka banyak tersedot untuk biaya sekolah anak.

Oleh karenanya, pendidikan dasar harus diatur benar tata kelolanya sehingga banyak memberikan manfaat yang besar terhadap masyarakat dan bangsa. Negara harus memberikan perhatian yang besar dalam bentuk aksi nyata peningkatan kualitasnya.

Lebih penting lagi, pendidikan dasar setingkat SD dan SMP harus diproteksi negara dari serbuan sekolah-sekolah swasta. Rasanya, masih ada waktu untuk menyelamatkan pendidikan dasar kita. So, sekaranglah waktunya untuk menyelamatkan pendidikan dasar di negeri ini.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement