REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pekerja JICT menantang Dirut IPC RJ Lino untuk membuka dokumen hukum izin perpanjangan konsesi JICT dan kajian finansialnya kepada publik. Hal itu penting agar aksi korporasi BUMN pelabuhan yang melibatkan asing, Hutchison Port Holdings (HPH) tidak merugikan negara.
"Seharusnya Dirut IPC berani buka dokumen hukum dan kajian finansial perpanjangan konsesi JICT ke publik jika prosesnya dilakukan dengan transparan dan benar. Dari sisi Hukum UU mengatakan Pelindo harus konsesi dulu dengan Kemenhub. Belum lagi harga jualnya sangat murah dibanding 1999," ujar Ketua Serikat Pekerja, Nova Hakim dalam siaran pers, kemarin.
Nova pun mempertanyakan tindakan dirut IPC. Selanjutnya, berdasarkan review Direktur BPKP Bambang Utoyo no LAP697/D502/2/2012 dan dikuatkan dengan Tim Pengawas (Oversight Committee) yang dibentuk Lino dengan Ketua Erry Riyana Hardjapamekas bahwa proses perpanjangan konsesi JICT harus dilakukan dengan tender terbuka.
Dari aspek finansial, rendahnya penjualan yang hanya 215 juta dolar AS dibanding tahun 1999 243 juta dolar AS ditegaskan Financial Research Institute (FRI), konsultan independen yang ditunjuk Dewan Komisaris Pelindo II.
"Dari Deutsch Bank yang memberikan valuasi awal, FRI memverifikasi nilai penjualan oleh Hutchison sebesar USD 215 juta seharusnya kepemilikannya 25,2 persen bukan 49 persen. Tapi Lino beralasan konsultan FRI tidak kompeten dan menunjuk Bahana yang sempat terbelit kasus privatisasi awal JICT tahun 1999," ungkap Nova.
Untuk itu, pihaknya meminta pemerintah dan penegak hukum segera mengambil tindakan atas pelanggaran yang dilakukan Lino dalam perpanjangan konsesi JICT. "Kami akan laporkan ini dan meminta semua pihak yang terlibat dalam proses ini diperiksa," kata Nova.