Selasa 14 Jul 2015 06:00 WIB
(Catatan Jelang Muktamar Muhammadiyah ke-37 di Makassar)

Antara Pembantu dan Penentu V

Professor Ahmad Syafii Maarif
Foto: Republika/Daan
Professor Ahmad Syafii Maarif

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Ahmad Syafii Maarif

 

Dengan modal PTM (Perguruan Tinggi Muhammadiyah) yang ada sekarang ini, terobosan politik itu menjadi mungkin. Syaratnya, harus ada gagasan dan rancangan besar bersama yang jelas ke arah itu sebagai ijtihad kolektif warga Muhammadiyah dalam upaya melangkah ke depan, demi terwujudnya sebuah negara yang berkeadilan. Indonesia tidak boleh terus dirusak dan dipecundangi oleh anak-anaknya sendiri yang lupa daratan, lupa lautan. Sebagai gerakan Islam dan dakwah amar makruf nahi mungkar, Muhammadiyah harus turut bertanggung jawab untuk kemajuan dan keselamatan masa depan bangsa dan negara ini.

Di muka sudah dijelaskan bahwa dalam perjalanan sejarah yang panjang, dinamis, dan ekspansif, tanpa asas atau dengan asas Islam, Muhammadiyah tetaplah diakui sebagai sebuah gerakan Islam dengan kepribadian khasnya yang tidak pernah berubah. Dalam hubungannnya dengan negara, posisi sebagai pembantu tidak perlu ditinggalkan, tetapi harus dicari pintu aman agar Muhammadiyah juga tampil sebagai kekuatan penentu dalam merumuskan kebijakan negara untuk kepentingan publik, demi  keadilan yang merata.

Tidak lama sesudah proklamasi kemerdekaan, Muhammadiyah bersama NU dan lain-lain organisasi Islam, memprakarsai berdirinya partai Masyumi di Madrasah Mu’allimin Yogyakarta pada 7 Agustus Nopember 1945, tetapi setelah terbentuk tidak menjadi penentu dalam partai itu. Cukup baginya mengambil posisi sebagai anggota istimewa sampai saat partai itu dilarang akhir tahun 1960 oleh presiden. Dengan demikian Muhammadiyah memang tidak pernah berpengalaman mengurus partai, sekalipun sebagai pendiri tetap setia mengawal Masyumi sampai bubar dengan segala kegetiran yang menyertainya.

Sebagai kekuatan sipil dengan PTM sebagai gudang calon negarawan potensial, saya berpendapat agar Muhammadiyah lebih baik berfikir strategis jangka panjang bagi kepentingan bangsa dan negara Indonesia. Jalan yang mungkin ditempuh adalah agar beberapa PTM unggulan mengambil inisiatif bersama-sama untuk menyiapkan para negarawan pada semua bidang untuk dilatih dan diarahkan untuk pada saatnya dengan segala modal kepakarannya agar turut menjadi penentu bagi perjalanan bangsa dan negara. Dengan kata lain, Muhammadiyah harus berada dalam posisi sangat siap untuk memberikan kader-kader terbaiknya kepada negara, apakah itu dalam bidang ekonomi, pertanian, pertahanan, politik, pendidikan, kesehatan, kelautan, sosial, dalam negeri, luar negeri, dan segala bidang apa pun yang diperlukan negara.

Dalam pantauan saya sejauh ini, dengan segala jasanya yang luar biasa dalam membantu negara, Muhammadiyah masih sangat kesulitan menawarkan pakar mumpuni yang dimilikinya kepada negara saat diperlukan. Maksud saya, kader-kader itu haruslah memenuhi semua kualifikasi dengan standar yang sangat tinggi, sehingga negara tidak punya pilihan lain, kecuali meminta kepada Muhammadiyah agar para kader itu disumbangkan. Gagasan ini memang idealistik, tetapi bila demokrasi sudah berjalan normal, maka aspek meritokratik pasti akan dipertimbangkan untuk kepentingan negara.

Bukan saja negara, partai politik pun yang punya wawasan kenegaraan tentu akan memerlukan kader-kader Muhammadiyah yang mumpuni itu. Para kader ini mesti dikenal secara luas sebagai negarawan moralis, berwawasan keindonesiaan yang jelas, toleran, tetapi pakar di bidang tertentu. Jika semua syarat ini terpenuhi, maka antara Muhammadiyah dan negara akan berada pada sebuah keserasian yang elok karena saling mendukung. Dengan posisi ini, siapa tahu, Muhammadiyah akan dapat ikut serta menolong bangsa dan negara dalam upaya menghalau semua kemungkaran yang membelit batang tubuh Indonesia sampai ke batas yang jauh dan semua perbuatan yang makruf akan semakin menjadi arus utama di negeri tercinta ini. Muhammadiyah harus mengajak semua mereka yang punya potensi sebagai negarawan dari golongan mana pun untuk bersama-sama memperbaiki dan memajukan bangsa dan negara ini. Anak bangsa yang kadar kebangsaannya sudah menipis semoga cepat sadar akan kekeliruannya.

Sebagai penutup, saya kutipkan pesan Bung Karno kepada Muhammadiyah puluhan tahun yang silam: “…Dengan sedikit bicara banyak bekerja, Muhammadiyah telah memodernisasi cara mengembangkan Islam, sehingga di seluruh Tanahair Indonesia, mulai Sabang sampai Merauke telah berdiri Cabang-cabang dan Ranting-rantingnya. Selaku seorang yang pernah berkecimpung dalam lingkungan Muhammadiyah, saya ingin berpesan kepada Saudara-saudara, supaya selalu berpegang  teguh kepada motto: ‘Banyak bekerja!’… Inilah sebabnya: Muhammadiyah berkumandang dan menjadi besar.” (Lih. Departemen Penerangan, Makin Lama Makin Cinta: Muhammadiyah Setengah Abad, 1912-1962. Jakarta: 1963, hlm. 204. Ejaan disesuaikan dengan kaedah yang berlaku). Semestinya, “Muhammadiyah berkumandang dan menjadi besar,” tidak hanya sekadar pembantu, tetapi sekaligus menjadi penentu bagi hari depan Indonesia di semua ranah. Eman-eman bangsa besar ini sering dijadikan permainan oleh mereka yang serbatuna. Semoga!

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement