REPUBLIKA.CO.ID, Apalah arti angka 891, berbanding 2,3 juta generasi yang terpaksa kehilangan hak asasi, pendidikan selayak sesamanya? Sebaliknya, apalah arti wacana penyediaan akses pendidikan yang layak, jika tak berlanjut aksi nyata mengurai problematika yang mengemuka? Sekolah untuk semua, secuil asa selamatkan generasi kita.
Tanpa alas kaki, jalan setapak yang penuh bebatuan itu dilalui anak-anak Desa Mekar Wangi, Cibalong, Garut Selatan dengan riang. Berbekal semangat menuntut ilmu dan keberanian, mereka rela menantang maut dengan menyeberangi lebarnya Sungai Cibaluk yang berarus deras. Semua dilakukan demi meretas masa depan, lewat bangku sekolah. Alhamdulillah, di pengujung 2014 lalu, jembatan penghubung yang sebelumnya rusak diterjang banjir bandang, sudah bisa kembali digunakan.
//Nun//, di pelosok lain negeri ini, boleh jadi masih akan kita temui kejadian-kejadian seperti itu. Masalah klasik, ekonomi, selalu saja menjegal hak-hak kaum pinggiran yang ingin mengenyam pendidikan. Bahkan, sekadar alas kaki untuk sekolah, sederhana saja bagi kaum berpunya. Namun, bagi mereka, tak sesederhana itu. Tak jarang, sampai pada keputusan tidak lagi melanjutkan jenjang pendidikan sang buah hati. Ironis.
Tapi, asa itu, masih bisa dirajut. Dari ujung Kabupaten Bandung, Cimahi, Bandung Barat, Tasikmalaya, Indramayu, Majalengka, Ciamis, Subang, Garut, sampai dengan Bogor, upaya sederhana menyelamatkan generasi bangsa dari putus sekolah, terus berlanjut. Ikhtiar itu dilakukan melalui program Sekolah Untuk Semua (SUS) yang telah berjalan lima tahun belakangan ini.
Sebuah program yang digagas Sinergi Foudation sebagai ikhtiar penyelamatan generasi bangsa dari ancaman putus sekolah. Ikhtiar yang diberikan antara lain: bantuan bea masuk sekolah, kebutuhan dasar, dan penunjang penyelenggaraan proses pembelajaran (bantuan tunggakan spp, bantuan tebus ijazah, seragam, buku, sepatu, dan lainnya).
Sampai kini, sejak kali pertama digulirkan 2011 lalu, sebanyak 2.644 pelajar pada jenjang pendidikan dasar dan menengah dari kalangan lemah telah merasakan manfaat program ini. Adapun nominal dana umat (zakat, infak, sedekah) yang telah disalurkan mencapai lebih dari Rp 1,5 miliar.
Meski begitu, kata Direktur Program dan Fundraising Sinergi Foundation Asep Irawan, sebanyak 70 persen dari bantuan, umumnya dialokasikan untuk membantu pembayaran SPP. Bantuan tersebut diberikan pada masa transisi, ketika anak-anak tersebut hendak memulai memasuki jenjang SMP, SMA, maupun SMK.
“Biasanya mereka mulai banyak putus sekolah setelah lulus dari SD atau banyak juga yang tak sampai lulus wajib belajar 9 tahun,” tutur Asep, belum lama ini.
Asep mengatakna, saat bersama tim melakukan kunjungan ke lapangan, didapati banyak kesulitan yang menghimpit masyarakat dhuafa. “Masalah utamanya, memang, selalu pada biaya masuk sekolah. Kendati ada pengurangan biaya untuk pemegang surat keterangan tidak mampu (SKTM), namun mereka akan terbentur lagi dengan biaya lain yang dianggarkan sekolah, termasuk SPP per bulan,” ujarnya.
Seakan tak ada habisnya, permasalahan biaya ini bertambah dengan ketidakmampuan mereka membeli peralatan sekolah, seperti seragam dan buku. Pemerintah sendiri tidak mewajibkan pegangan buku, namun di lapangan, LKS per-pelajaran menjadi penunjang pembelajaran yang wajib dimiliki.
Sebagai penanggung jawab program, Asep beserta 77 orang tim SUS selalu berupaya mengakomodasi pengajuan bantuan SUS yang datang. Serupa dengan prinsip ‘Sekolah Untuk Semua’, ia tak ingin masyarakat kecewa mengikuti prosedur.
Dengan bantuan yang bersifat partisipatif dan solutif, ia berharap masyarakat bisa merasakan keberadaan program ini. “Tapi kita juga harus betul-betul tepat sasaran, ibarat kalau sedang menembak, itu ya harus kena ke jantungnya,” kata Asep.
Sekian tahun program ini bergulir, kian bertambah pula masyarakat lemah yang merasakan manfaat program ini. Tercatat tahun ini saja, yang kini memasuki proses akhir, terdapat 1.028 orang yang mendaftar dari 14 kabupaten/kota. “Tahun ini Sinergi Foundation menganggarkan dana sekira 500 juta,” ujarnya.
Asep beserta timnya mengaku perlu amanah dan teliti, terutama dalam hal administrasi karena dananya berasal dari umat. Dia memastikan para mustahiq-nya benar-benar berasal dari kalangan lemah. Ia pun kerap memberikan poin plus jika mendapati kaum dhuafa ini juga memiliki prestasi yang baik.