Kamis 09 Jul 2015 19:43 WIB

Penanganan Pelarangan Rokok Harus Disamakan Dengan Bulan Puasa

Rep: c25/ Red: Damanhuri Zuhri
Kampanye stop merokok. (ilustrasi)
Foto: Antara/Zabur Karuru
Kampanye stop merokok. (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Steven S Musa menilai rasa menghargai orang yang tidak berpuasa, untuk tidak makan di depan orang yang berpuasa, sebagai sikap yang tepat untuk penanganan pelarangan rokok.

Anggota Komisi E DPRD DKI Jakarta dari Fraksi PDI-P, Steven Setiabudi Musa, menganggap penanganan pelarangan rokok yang masih sulit ditegakkan, harus disamakan dengan bulan puasa.

Orang yang tidak berpuasa menghargai orang yang berpuasa di bulan Ramadhan. Meski tidak berpuasa, Steven yang beragama non-Muslim mengaku tidak mungkin makan di muka umum atau di depan orang berpuasa, untuk menghargai orang yang berpuasa.

Jika hal itu sudah dilakukan, Steven memperkirakan kalau orang yang merupakan perokok berat sekalipun, tidak akan merokok di muka umum atau di depan orang yang tidak merokok, lantaran rasa menghargai yang tinggi.

Hal itu secara otomatis akan menegakkan peraturan mengenai pencemaran udara, bisa terlaksana tanpa harus dipaksakan petugas, pemerintah atau lembaga-lembaga, yang fokus dan berkewenangan akan pelarangan rokok.

"Penanganan pelarangan merokok, harus disamakan dengan bulan puasa, saya yang tidak berpuasa, tapi tidak mungkin saya makan depan umum," kata Steven S Musa menerangkan.

Steven yang ditemui saat menjadi salah satu pembicara dalam sebuah dialog yang digelar YLKI, bertajuk Menuju Penguatan Regulasi TKI di Jakarta, juga menyampaikan keheranannya terhadap jumlah pembelian dari rokok, yang hingga saat ini masih terbilang laku keras.

Padahal, ia sendiri sudah mengaku seram ketika melihat gambar himbauan untuk tidak merokok, yang sudah terpasang di tiap bungkus rokok yang beredar di pasaran.

Steven menyampaikan keprihatinannya, atas urutan Indonesia yang mencapai peringkat tiga terbesar, dalam konsumsi rokok di dunia. Ia sempat menceritakan kalau beberapa tahun yang lalu, sempat ada larangan merokok di depan umum, dan pelanggarnya akan diberikan hukuman atau denda.

''Sayangnya, dulu cukup banyak pelanggar yang masih nekad melakukan lantaran hukuman hanya di sidang, dan membayar denda sebesar Rp 50 ribu. Mau saya hukumnya yang harus lebih tegas," kata Steven menegaskan.

Steven juga berharap kalau kota DKI Jakarta yang dianggap sebagai barometer nasional, memiliki peraturan daerah yang khusus, yang mengatur secara khusus tentang pelarangan merokok.

Peraturan daerah yang ada saat ini, Perda nomor dua tahun 2005, menurutnya hanya mengatur tentang pencemaran udara saja, dan belum mengatur secara spesifik tentang penanganan pelarangan merokok, khususnya di DKI Jakarta.

Steven menyayangkan tempat-tempat umum yang ada di Jakarta, yang bahkan sudah memakai penyejuk ruangan, masih memperbolehkan pengunjung untuk merokok di dalam tempat-tempat tersebut. "Saya setuju kalau perokok harus dibuat tidak nyaman," ujarnya menjelaskan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement