Rabu 08 Jul 2015 23:13 WIB
Pembalut Berklorin

Kemenkes Tegaskan Larang Penggunaan Gas Klorin dalam Pembalut

Rep: Rr Laeny Sulistyawati/ Red: Karta Raharja Ucu
Untuk menjaga kesehatan perempuan, pilih pembalut yang bebas klorin dan ganti dua jam sekali untuk menghindari berkembangnya kuman.
Foto: Republika/Rakhmawaty La'lang
Untuk menjaga kesehatan perempuan, pilih pembalut yang bebas klorin dan ganti dua jam sekali untuk menghindari berkembangnya kuman.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Indonesia melarang penggunaan gas Klorin dalam proses pemutihan terhadap bahan baku yang digunakan untuk pembalut wanita. Sebab, penggunaan gas klorin dapat menghasilkan senyawa diksin yang bersifat karsinogenik.

Direktur Jenderal (Dirjen) Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan Kemenkes Indonesia Maura Linda Sitanggang mengatakan, bahan baku pembalut kaum hawa yang diizinkan harus menggunakan dua metode yang diperbolehkan panduan badan obat dan makanan (FDA) AS. Pertama, Elemental Chlorine Free (ECF) Bleaching yaitu pemutihan yang tidak menggunakan elemen gas klorin.

"Metode ini menggunakan chlorine dioxide sebagai agen pemutihan dan dinyatakan bebas dioksin,” ujarnya saat konferensi pers mengenai tanggapan Kemenkes atas publikasi penelitian YLKI tentang pembalut dan pantyliner mengandung klorin, di Jakarta, Rabu (8/7).

Kedua yaitu Totally Chlorine Free (TCF) Bleaching yaitu pemutihan yang tidak menggunakan senyawa klorin, biasanya menggunakan Hidrogen Peroksida. Metode ini, kata dia, dinyatakan bebas dioksin.

Ia menegaskan yang berbahaya adalah dioksin karena senyawa pencemar lingkungan yang dapat mempengaruhi beberapa organ dan sistem dalam tubuh karena stabilitas kimianya. Zat ini kemudian dilepaskan melalui proses penguapan dengan suhu sangat tinggi yaitu 446,5 deracat celcius.

“Jadi, kalaupun ada dioksin di pembalut, apa mungkin bisa menguap akibat suhu tubuh manusia sekalipun dia sedang demam,” ujarnya.

Apalagi, kata dia melanjutkan, selama produsen menggunakan metode EFC atau TFC tidak diperbolehkan menambahkan klorin selama proses produksi. Mengenai sembilan merek pembalut dan tujuh pantyliner yang mengandung klorin, ia membantahnya.

“Berdasarkan data di Kemenkes bahwa sembilan pembalut dan tujuh pantyliner ini telah melewati uji keamanan, mutu, dan kemanfaatan produk dari laboratorium yang terakreditasi yaitu PPOMN dan Sucofindo,” katanya.

Dalam memberikan izin edar, Kemenkes mengharuskan setiap pembalut wanita harus memenuhi persyaratan sesuai dengan Standar Nasional Indonesia (SNI) 16-6363-2000 tentang pembalut wanita. Yaitu daya serap minimal 10 kali dari bobot awal dan tidak memiliki kontaminasi klorine (berfluoresensi).

Kemenkes menjelaskan, berdasarkan hasil sampling yang dilakukan terhadap pembalut wanita di peredaran yang dilakukan pada 2012 sampai pertengahan 2015, tidak ditemukan pembalut yang tidak memenuhi syarat. Tak berhenti sampai disitu, Kemenkes juga mengklaim terus melakukan uji kesesuaian terus-menerus secara berkala selama produk di peredaran.

Ini dalam rangka post market surveilance melalui sampling dan pengujian ulang. Apabila ditemukan produk yang tidak memenuhi ketentuan, Kemenkes akan memerintahkan produsen atau distributor untuk menarik produk tersebut dari pasaran.

“Selain itu, mengharuskan produsen melakukan penarikan (recall) dan CAPA,” ujarnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement