REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dinilai masih diperkenankan untuk melakukan penyadapan dalam membongkar tindak pidana korupsi. Namun dalam proses penyadapan tersebut sepatutnya mengikuti aturan yang ditentukan.
''Saya rasa, KPK itu tidak perlu dibubarkan tetapi hanya perlu diperkuat saja. Dalam penyadapan, boleh-boleh saja tetapi bukan ujug-ujug. Tentunya (dalam penyadapan) harus mengikuti (usulan) aturan melalui pemberitahuan kepada ketua pengadilan,'' kata praktisi hukum, Ombun Suryono, dalam diskusi di Jakarta, Senin (6/7).
Seperti diketahui fungsi penyadapan KPK menjadi salah satu poin krusial yang ingin direvisi dari Undang Undang KPK. Fungsi lainnya adalah pemberian kewenangan kepada KPK untuk menghentikan penyidikan melalui penerbitan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3).
Penguatan lembaga KPK, menurut Ombun, menjadi hal sangat penting. Ia menilai dalam setahun terakhir ini, KPK telah disorot publik dengan tiga perkara praperadilan, yakni Budi Gunawan, Ilham Sirajuddin dan Hadi Poernomo. Dalam persidangan prapersidangan itu, KPK mengalami kekalahan.
''Anehnya dalam tiga perkara tersebut, KPK justru mengambil tiga sikap berbeda. Misalnya saja dalam kasus Poernomo Hadi dimana KPK seperti terlihat begitu ngotot untuk mengajukan Peninjauan Kembali terhadap putusan praperadilannya. Mengapa bisa begitu?'' Ombun mempertanyakan sikap KPK.
Hal serupa juga disampaikan oleh Ketua Perhimpunan Magister Hukum Indonesia, Fadli Nasution. Selama 12 tahun perjalanan KPK, kata dia, tentunya banyak hal yang harus dievaluasi. ''Menurut saya, revisi KPK ini lebih ditujukan untuk memperkuat institusi KPK, bukan untuk melemahkannya,'' katanya.