REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) dan Gerakan Buruh Indonesia (GBI) mengecam aturan pencairan Jaminan Hari Tua. Pemerintah mengubah syarat pencairan dana dari 5 tahun menjadi 10 tahun.
KSPI dan GBI menilai pemerintah telah melanggar konstitusi dengan menerapkan kebijakan tuntutan jaminan pensiun yang telah ditanda tangani oleh Presiden. Besaran iuran yang tertera dalam kebijakan tersebut sebesar 3 persen. KSPI dan GBI menilai iuran tersebut tidak layak untuk jaminan para buruh dihari tua.
"GBI terdiri dari 42 Federasi Serikat Buruh menyatakan menolak isi daripada aturan pemerintah tentang jaminan pensiun dan hari tua. Kami nilai pemerintah langgar konstitusi," kata Presiden KSPI Said Iqbal di Gedung Joeang 45 Menteng Jakarta Pusat, Kamis (2/7).
Said mengatakan, KSPI akan mendesak Dewan Perwakilan Rakyat (DPR RI) agar menggunakan hak interpelasinya. Said juga mengatakan, para buruh berencana melakukan aksi mogok nasional untuk mendesak pemerintah menetapkan penarikan manfaat pensiun minimal 60 persen dari gaji terakhir dan penarikan dana Jaminan Hari Tua (JHT) minimal 80 persen dari saldo.
"Dengan aturan baru JHT hanya bisa diambil 10 persen setelah 10 tahun bekerja dan bisa diambil secara penuh setelah 56 tahun. Ini sangat merugikan buruh," ujar Said.
Said menambahkan, dengan diterbitkannya PP JHT tanpa melibatkan unsur buruh di dalamnya, maka KSPI dan GBI serta buruh Indonesia menyatakan sikap akan mengajukan Judicial Review PP Jaminan Pensiun dan JHT ke MA. "Kami akan mengajukan Judicial Review ke MA," kata Said.
Selain itu, Said mengatakan, poin lainnya yang ditolak buruh yakni bersikap diskriminatif. Hal itu dinilai dari manfaat pensiun buruh swasta dan PNS/TNI/Polri berbeda. "Ini tidak boleh ada perlakuan berbeda dengan jaminan pensiun," tutup Said.