Rabu 01 Jul 2015 13:01 WIB

Menelisik Wahabi di Masjid Baiturrahman Aceh (2-Habis)

Red: M Akbar
Masjid Baiturrahman
Masjid Baiturrahman

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Khairil Miswar (penulis tinggal di Bireuen)

Di Aceh, wahabi juga sering diindentikkan dengan orang-orang yang 'suka baca' buku. Ada satu 'keyakinan' yang berkembang di Aceh belajar agama dari buku adalah 'sangat terlarang'. Namun, jika ditelisik dengan jujur, sebenarnya ramai pula ulama-ulama dayah yang menulis buku.

'Pengharaman' baca buku juga terkesan tidak adil ketika dihadapkan pada buku-buku yang ditulis oleh Sirajuddin Abbas. Buku Sirajuddin Abbas ini dianggap 'halal' oleh mereka yang mengharamkannya. Dengan demikian, sangat janggal rasanya jika membaca buku disebut sebagai wahabi.

Isu wahabi menjadi semakin menarik ketika dikontraskan dengan terminologi ahlussunnah waljama’ah. Di sini 'kapling' ahlussunnah waljama’ah telah diborong oleh satu atau dua golongan saja, yaitu asy’ariyah dan maturidiyah. Adapun Wahabiyah (lebih tepat disebut salafiyah) telah dikeluarkan 'secara paksa' dari lingkungan ahlussunnah waljama’ah.

Diakui atau tidak, definisi wahabi yang berkembang di Indonesia, khususnya di Aceh, lebih banyak merujuk kepada definisi yang dibuat oleh Sirajuddin Abbas melalui buku-bukunya yang 'laris manis' di kalangan “santri”. Buku I’tiqad Ahlussunnah Waljama’ah yang ditulis oleh Sirajuddin Abbas sudah menjadi semacam 'kitab keramat' bagi sebagian masyarakat Indonesia, tak terkecuali Aceh.

Seorang cendekiawan muslim dari Aceh, Prof Dr H Aboebakar Atjeh, pernah menulis sebuah buku yang mengulas tentang sejarah salafiyah di Indonesia. Aboebakar Atjeh (1970) dengan mengutip Hafiz Wahbah, menulis istilah wahabi tidak dikenal di negeri Arab. Istilah Wahabi sengaja dilancarkan oleh pihak-pihak yang kontra terhadap dakwah Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab dengan maksud propaganda.

Adalah antagonis jika kita mengkaji wahabi dari perspektif Asy’ariyah atau Maturidiyah, apalagi jika menggunakan perspektif syiah tentu hasilnya akan semakin bertambah parah. Wahabi harus dilihat dari perspektif wahabi.

Jika kita ingin tahu tentang wahabi maka tanyalah kepada wahabi. Jika kita hendak paham apa itu wahabi, bacalah buku dan kitab-kitab yang ditulis oleh wahabi. Jangan menghakimi wahabi hanya berdasarkan buku-buku Asy’ariyah, Maturidiyah dan syiah karena hasilnya akan jauh panggang dari api.

Dengan mengutip pepatah Melayu, Hamka pernah berpesan melalui tulisannya, ''Hendak tahu di baik orang tanyakan kepada kawannya. Hendak tahu di buruk orang, tanyakan kepada lawannya.'' Bagi kita yang mau berpikir dan bersikap adil, falsafah yang dipesankan oleh Hamka bisa menjadi satu metode untuk mendefinisikan wahabi secara objektif. Namun, bagi sebagian pihak, pesan Hamka ini justru turut dipermasalahkan, mengingat Hamka pernah juga dituduh sebagai wahabi.

Jika kita mau membaca buku dan tulisan-tulisan yang ditulis oleh wahabi secara cermat maka kita akan menemukan 'cahaya terang' bahwa wahabi juga ahlussunnah waljamaah. Akidahnya masih serumpun dengan Imam Ahmad bin Hanbal.

Jika kita cermat membaca sejarah, kita akan mengetahui Imam Ahmad bin Hanbal dan sahabatnya Muhammad bin Nuh adalah 'satu-satunya' tokoh yang sangat kuat mempertahankan keyakinan ahlussunnah waljama’ah di tengah hegemoni muktazilah yang menguasai dunia Islam saat itu.

Jika kita berani jujur, Imam Abu Hasan Al-Asy’ari -- sebagai tokoh besar ahlussunnah waljamaah pasca 'keruntuhan' muktazilah -- banyak juga menyandarkan pendapatnya kepada Imam Ahmad bin Hanbal. Sekarang mari kita bertanya kepada diri kita, apakah Abu Hasan Al-Asy’ari dan Imam Ahmad bin Hanbal juga seorang wahabi? Wallahul musta’an.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement