REPUBLIKA.CO.ID,SOLO -- Kota Solo, Jawa Tengah mulai dipenuhi kedatangan pengemis setiap kali memasuki bulan puasa dan jelang perayaan Lebaran.
Kebanyakan dari mereka bukan kelompok Pengemis Gelandangan dan Orang terlantar (PGOT), tapi termasuk pengemis musiman.
''Mereka datang dari luar daerah,'' kata Kepala Dinas Sosial Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Dinsosnakertrans) Kota Solo Sumartono Kardjo, Jumat (26/6).
Kota Bengawan kedatangan pengemis musiman lebih dari 50 % setiap memasuki bulan puasa. Mereka berasal dari daerah marjinal yang mengalami bencana kekeringan setiap musim kemarau. Seperti sebagian wilayah Sukoharjo, Wonogiri, Karanganyar, Sragen, Boyolali, dan sebagainya.
Tempat sasaran yang dituju, yakni Keraton Kasunanan Surakarta, Pasar Klewer, Masjid Agung Surakarta, Masjid Kepatihan, Masjid Mangkunegaran, dan sejumlah masjid besar lain.
Penampilan pengemis musiman ini cukup rapi. Biasanya, mengenakan pakaian biasa, sandal jepit, pertopi atau caping. Tidak compang-camping, kumuh, lusuh, seperti laiknya pengemis yang hidupnya sepanjang hari menggelandang.
Jadi, lanjut Sumartono, kedatangan pengemis musiman bukan hal yang baru lagi. Fenomena seperti ini, terjadi sepanjang tahun. Memang sudah menjadi tren jika dibandingkan dengan bulan biasa.
Pemkot Solo pun belum memiliki ketentuan daerah (perda) yang mengatur. Misalnya, ihwal ketentuan larangan mengemis.
“Kalau jelas nama alamat, keluarga, dipulangkan,'' tambah Sumartono.
Sedang PGOT yang tidak jelas nama, identitas, dan alamat, diserahkan ke panti jompo.
Namun, tidak sedikit dari PGOT masih bisa produktif, diberi pelatihan dan ketrampilan. Pernah juga melatih menjahit dan diberikan bantuan mesin jahit. Lalu, diberikan keterampilan berupa keahlian yang bisa dilakukan di rumah supaya bisa menghasilkan penghasilan tanpa harus mengemis.