Rabu 24 Jun 2015 20:00 WIB

Revisi UU KPK Dinilai Batal Demi Hukum

Gedung KPK
Gedung KPK

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Revisi UU KPK yang sudah masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2015 dinilai batal demi hukum. Ini karena Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang menyatakan penolakannya sebelum revisi itu masuk prolegnas.

"Revisi harus kedua belah pihak antara DPR dan pemerintah. Tidak boleh DPR saja atau pemerintah saja. Ini berdasarkan Undang-Undang No 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan," kata Peneliti Pusat Studi Konstitusi (PuSAKO) Universitas Andalas, Feri Amsari, kepada Republika, Rabu (24/6).

Karena itu, Feri menilai keputusan paripurna DPR pada Selasa (23/6) yang memasukan revisi UU KPK batal demi hukum. Hal tersebut karena DPR telah membuat keputusan sepihak tanpa persetujuan dari presiden selaku kepala pemerintahan.

Bahkan, dia menilai DPR telah melakukan perbuatan manipulatif. Yakni, memasukan prolegnas tanpa ada persetujuan dari pemerintah.

Feri mengatakan, pernyataan presiden pada pekan lalu yang menolak revisi UU KPK sudah jelas dan tegas. Presiden mewakili seluruh aparatur pemerintahan.

Karena itu, siapapun aparat pemerintahan, baik itu wakil presiden maupun menteri wajib mentaati perintah presiden tersebut. "Kalau ada wakil presiden atau menteri yang membuat pernyataan berbeda dengan presiden, atau dia tetap mendukung revisi UU KPK, berarti tindakan dia tidak sah dan tidak mewakili pemerintah," kata Feri.

Pada kesempatan itu, Feri mengingatkan agar Jokowi komitmen dengan pernyataannya yang merupakan sebuah perintah. Jika dia tidak konsisten dengan mendukung revisi UU KPK, maka dia akan membuat publik semakin tak percaya dengan dia.

"Ini gak boleh mencla-mencle, presiden sedang memimpin negara," kata Feri.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement