REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Mahkamah Konstitusi (MK) menolak uji materi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang diajukan tiga orang konsultan hukum dan seorang mahasiswa. Dalam putusan tersebut Mahkamah menyatakan ketentuan keabsahan perkawinan sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan tidak bertentangan dengan UUD 1945.
“Mengadili, menyatakan menolak permohonan para Pemohon untuk seluruhnya,” ujar Ketua MK Arief Hidayat mengucapkan amar Putusan Perkara Nomor 68/PUU-XII/2014 didampingi tujuh hakim konstitusi lain, kecuali Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams, di Ruang Sidang Pleno MK, Jakarta, Kamis (18/6).
Para pemohon, Damian Agata Yuvens, Rangga Sujud Widigda, Anbar Jayadi, dan Luthfi Sahputra K mengajukan uji materiil Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan. Menurut Pemohon, norma tersebut membuka ruang penafsiran dan pembatasan sehingga tidak dapat menjamin terpenuhinya hak atas kepastian hukum yang adil.
Pemohon mendalilkan hak konstitusionalnya untuk melangsungkan perkawinan dan membentuk keluarga terlanggar dengan adanya ketentuan itu. Adapun Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan menyatakan: Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu.
Terhadap permohonan, Mahkamah berpendapat setiap warga negara wajib tunduk tunduk terhadap pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dalam menjalankan hak dan kebebasannya. Hal tersebut demi menjamin pengakuan dan penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain.
Pembatasan juga diperlukan guna memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis. “Menurut Mahkamah, UU Perkawinan telah dapat mewujudkan prinsip-prinsip yang terkandung dalam Pancasila dan UUD 1945 serta telah pula dapat menampung segala kenyataan yang hidup dalam masyarakat,” ujar Wakil Ketua MK Anwar Usman.
Berikut pertimbangan MK dalam membuat keputusan ditinjau dari agama yang diakui di Indonesia: