REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Mahkamah Konstitusi menolak seluruh permohonan uji materi Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, dalam hal ini terkait dengan perkawinan beda agama.
"Menyatakan menolak permohonan para pemohon untuk seluruhnya," kata Ketua Majelis Hakim Konstitusi, Arief Hidayat, saat membacakan amar putusan di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Jumat (19/6).
Pasal 2 ayat (1) UU Nomor 1 Tahun 1974 menyatakan perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. Dalam pertimbangannya, Mahkamah berpendapat permohonan para pemohon tidak beralasan menurut hukum.
"Perkawinan tidak boleh hanya dilihat dari aspek formal semata, tapi juga harus dilihat dari aspek spiritual dan sosial," ujar Hakim Konstitusi Anwar Usman ketika membacakan pertimbangan hukum Mahkamah.
Anwar menjelaskan, secara khusus negara berperan memberikan perlindungan untuk membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah serta merupakan wujud dan jaminan keberlangsungan hidup manusia.
Permohonan untuk uji materi atas ketentuan tersebut dimohonkan oleh empat warga Indonesia atas nama Damian Agata Yuvens, Rangga Sujud Widigda, Varida Megawati Simarmata, dan Anbar Jayadi. Para pemohon merasa ketentuan tersebut berpotensi merugikan hak konstitusional mereka karena berlakunya syarat keabsahan pekawinan menurut hukum agama.
Pemohon berdalil pengaturan perkawinan dalam pasal a quo dapat menyebabkan tidak sahnya perkawinan yang dilakukan di luar hukum masing-masing pasangan akibat perbedaan agama.