REPUBLIKA.CO.ID, CIREBON -– Para petani tebu di Kabupaten Cirebon kecewa dengan rendahnya tingkat rendemen pada musim giling 2015. Mereka berharap, kekecewaan itu bisa terobati dengan baiknya harga lelang gula perdana pada pekan mendatang.
Sekretaris Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI) Jawa Barat, Haris Sukmawan, menyebutkan, memasuki periode kedua musim giling tebu 2015 di Kabupaten Cirebon, tingkat rendemen hanya di kisaran 6,29 persen-6,45. Angka itu jauh dari harapan para petani yang sebelumnya berharap agar tingkat rendemen minimal bisa mencapai 7 persen
‘’Ya kecewa, harapan petani untuk memperoleh rendemen yang tinggi tahun ini ternyata tidak tercapai,’’ ujar pria yang akrab disapa Wawan itu, Kamis (18/6).
Tak hanya tingkat rendemen yang rendah, lanjut Wawan, petani juga kecewa dengan pencapaian produksi tebu yang juga kurang dari target yang diharapkan. Dia menyebutkan, selama periode giling pertama pada 17 Mei – 31 Mei 2015 dan periode giling kedua pada 1 Juni – 15 Juni 2015, produksi tebu hanya 651 kuintal per hektare.
‘’Padahal targetnya minimal bisa 669 kuintal per hektare,’’ kata Wawan.
Wawan menambahkan, meski kecewa dari sisi tingkat rendemen maupun produksi, namun para petani tebu masih memiliki harapan pada harga lelang gula perdana yang akan dilakukan pekan depan. Para petani berharap, harga lelang gula bisa tinggi untuk menutupi kerugian akibat rendahnya tingkat rendemen maupun produksi.
Wawan menyebutkan, berdasarkan informasi yang diterimanya pekan lalu, harga gula di Jabar masih mencapai diatas Rp 10 ribu per kg. Namun, tingginya harga tersebut dikarenakan produksi gula kala itu masih belum banyak. Sedangkan harga patokan penjualan (HPP) yang ditetapkan pemerintah mencapai Rp 8.900 per kg.
‘’Jika tingkat rendemen rendah, produksi kurang, dan ditambah harga yang anjlok, maka itu akan menjadi tanda ‘lonceng kematian’ bagi petani tebu,’’ tegas Wawan.
Wawan menjelaskan, jika ketiga aspek, yakni rendemen, produksi dan harga pada tahun ini kembali mengecewakan seperti tahun lalu, maka minat petani tebu akan menurun. Dia menyebutkan, saat ini, luas lahan tebu di Cirebon hanya tinggal sekitar 7.400 hektare. Padahal, beberapa tahun lalu luas lahan itu mencapai kurang lebih 12 ribu hektare.
Wawan memperkirakan, pada 2016 mendatang, luas lahan tebu di Kabupaten Cirebon terancam tinggal sekitar 5.000 – 6.000 hektare. Sedangkan pada 2017, luas lahan tersebut terancam hanya tinggal sekitar 2.000 – 3.000 hektare.
Wawan menyatakan, ancaman pengurangan lahan tebu itu akan terjadi jika musim giling tahun ini hasilnya sama atau malah lebih buruk dibanding dua tahun terakhir. Dia menambahkan, jika para petani tebu benar-benar meninggalkan budidaya tebu, maka Indonesia sepenuhnya akan bergantung pada impor gula. Kondisi itupun akan membuat harga gula di dalam negeri sepenuhnya ditentukan dari luar negeri.
Sementara itu, seorang petani tebu, Abdullah, menyatakan lahan miliknya yang semula ditanami tebu, kini sebagian sudah ditanami jagung. Dia bertekad, jika musim giling tahun ini tidak bisa memberikan keuntungan yang diharapkan, maka separuh lahan tebu akan diganti seluruhnya dengan jagung.