Kamis 18 Jun 2015 15:37 WIB

Ktut Pun Mengritik Menteri Agama

Arif Supriyono
Foto: dok pribadi
Arif Supriyono

Oleh: Arif Supriyono

Wartawan Republika

Pernyataan Menteri Agama, Lukman Hakim Saifuddin, di media sosial mengundang perhatian banyak pihak. Kutipan asli twit menteri agama mungkin perlu saya ulang di sini agar bisa dibaca lebih lengkap.

“Warung-warung tak perlu dipaksa tutup. Kita harus hormati juga hak mereka yang tak berkewajiban dan tak sedang berpuasa. Pertama,  tak perlu ada paksaan untuk menutup warung di bulan puasa. Bila ada yang suka rela menutup warungnya, tentu kita hormati. Tapi Muslim yang baik tak memaksa orang lain menutup sumber mata pencahariannya demi tuntutan (meng)hormati yang sedang puasa. Saling menghormati adalah ideal tapi jangan paksa satu kepada yang lain”.

''Kedua, kata ’juga’ pada ’kita harus hormati juga’ secara implisit mengandung makna: selain menghormati yang sedang berpuasa, kita juga dituntut (meng)hormati hak mereka (dalam mendapatkan makanan/minuman) yang tak wajib berpuasa karena bukan Muslim. (Itu) juga menghormati hak muslim/ah yang tak sedang berpuasa karena keadaan (musafir, sakit, perempuan haid, hamil, dan menyusui)”.

Kalimat yang saya susun dalam dua alinea itulah inti pernyataan Lukman Hakim. Kalau kita cermati lebih mendalam, rasanya tak terlalu aneh makna dalam dua alinea itu.

Persoalan menjadi berbeda tatkala banyak media yang menulis keterangan menteri agama dengan penggalan kalimat,“Kita harus hormati yang tak puasa”. Meski ada juga keterangan lebih lanjut, fokus orang rupanya lebih mengarah pada penggalan kalimat itu.

Hal yang menjadi masalah utama dari kicauan menteri agama itu adalah membalik kelaziman. Selama ini, sudah menjadi rumus bagi masyarakat luas, bahwa saat bulan suci Ramadhan, semua kalangan yang tidak berpuasa diminta untuk menghormati mereka yang sedang menjalankan puasa.

Bentuk penghormatan itu bisa beraneka. Misalnya, antara lain, mereka tidak secara demonstratif makan di depan yang sedang berpuasa, tidak  membuka rumah makan atau restoran secara mencolok (ditutup kelambu atau pintu restoran dibuka setengah), dan tidak memancing kemarahan pada yang berpuasa. Tentu masih banyak bentuk penghormatan atau toleransi lainnya.

Ketika titik perhatian orang beralih pada imbauan agar yang berpuasa juga menghormati mereka yang tidak berpuasa, wajar bila reaksi masyarakat jadi berbeda dari yang diharapkan pemerintah. Sebagian masyarakat menjadi terheran-heran, ada apa gerangan di balik imbauan menteri agama itu?

Untuk menggambarkan bagaimana tanggapan masyarakat di luar Islam (biar lebih jernih dan netral dalam berpendapat) atas pernyataan menteri agama itu, ada baiknya saya sampaikan pandangan pribadi teman saya di bawah ini. Tadi malam, secara tak sengaja saya bertemu dengan teman bernama Ktut Tastra Sukata, seorang petinggi sebuah partai yang juga menjadi pedanda (pendeta Hindu Bali) yang dihormati.

Ia pun merasa jengah atas imbauan yang disampaikan menteri agama. Bagi dia, aneh rasanya bila menteri agama sampai membuat imbauan agar orang yang berpuasa juga menghormati mereka yang tidak berpuasa.

Ia lalu menggambarkan saat pelaksanaan Hari Raya Nyepi bagi umat Hindu di Bali. ”Saat itu semua umat beragama lain, tak terkecuali Islam, juga ikut menghormati Hari Raya Nyepi. Buktinya mereka juga banyak yang tak keluar rumah. Lampu-lampu di rumah atau bahkan di jalanan pun tidak dinyalakan di malam hari. Bandara yang selama ini punya peran vital untuk kepentingan semua kelompok masyarakat, bahkan ikut berhenti melakukan aktivitas. Apa itu bukan bentuk penghormatan kepada umat Hindu Bali yang sedang khusuk menjalankan ibadah?” ujar Ktut.

Ia menilai, sejauh ini Lukman Hakim dianggap sebagai menteri agama yang paling dia puji ketimbang menteri-menteri agama sebelumnya. ”Ya cuma pernyataan dia kali ini yang menurut saya tidak tepat,” kilah Ktut.

Ia menggambarkan, saat Ramadhan, umat Islam tentu ingin bisa menjalankan kewajibannya dengan sebaik-baiknya demi meraih pahala. Intinya, di bulan itu umat Islam ingin meningkatkan semua amal kebaikan dalam kehidupannya.

Kalau ada umat yang ingin menjalankan ibadahnya dengan baik demi mencari kesempurnaan pada peristiwa-peristiwa tertentu, sudah semestinya kalangan beragama lain memberi penghormatan atau toleransi. Ini yang dianggap Ktut sebagai hidup berdampingan dan saling menghormati sesama pemeluk agama.

Orang yang akan menjalankan kewajiban agamanya di hari yang sangat penting itu bisa diibaratkan sebagai orang yang tengah berjuang keras meraih kesempurnaan. Sudah barang tentu untuk mencapai ke arah itu perlu perjuangan. Nah perjuangan itu pada sisi lain bisa dianggap sebagai hal berat atau beban yang harus dipikul.

Jika mereka sudah membawa beban untuk menuju perjalanan yang jauh dan melelahkan, mengapa pula harus kita bebani dengan hal-hal lain lagi? Itu pengandaian yang disampaikan oleh Ktut pada saya.

Walau saya tak terlalu keberatan dengan pernyataan menteri agama di atas akan tetapi saya sepenuhnya setuju dengan amsal yang disampaikan Ktut. Menteri agama mungkin perlu mengingatkan agar umat Islam menjalankan puasa Ramadhan dengan sebaik-baiknya dan semakin menjunjung tinggi serta mengamalkan nilai-nilai kebaikan yang diajarkan agamanya.

Lalu pemerintah, melalui menteri agama, cukup menyampaikan pendapat bahwa restoran atau warung-warung yang menyajikan makanan tak perlu harus menutup barang jualannya selama bulan Ramadhan. Namun, mereka diimbau untuk bertenggang rasa dengan tidak demonstratif dalam membuka lapak atau dagangannya.

Demikian juga pada umat lain yang tak berpuasa, saya yakin mereka juga tak akan dengan pongah dan tanpa rasa sungkan mengunyah kerat demi kerat makanan yang disantapnya secara demonstratif pula. Tak ada salahnya menteri agama kembali mengingatkan pada umat lain dalam masalah ini agar ikut menjaga diri dan tak memperlihatkan secara terbuka saat sedang bersantap di siang/sore hari. Saya yakin, imbauan ini akan lebih mengena dan mudah dimengerti oleh masyarakat luas.

Kritik yang disampaikan rekan saya, Ktut Tastra Sukata, saya kira mewakili pandangan banyak pihak yang kurang sependapat dengan ungkapan menteri agama. Saya pun berharap, kali ini umat Islam tak marah dengan imbauan yang disampaikan oleh menteri agama tadi.

Saatnya umat Islam menunjukkan jati diri sebagai kaum pilihan dengan tingkah dan sikap yang terpuji dan layak ditiru. Mari kita juga ikut dan saling menghormati --meski kita sedang berpuasa dan mereka tak berpuasa-- kepada siapa pun yang punya hak hidup di bumi ini.

Rasanya tak perlu saat Hari Raya Natal, Waisak, Nyepi, dan lain-lain nanti, menteri agama mengimbau agar mereka yang sedang merayakan hari raya itu juga menghormati pemeluk agama lain (Islam). Selamat menjalankan ibadah puasa Ramadhan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement