REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat hukum dan tata negara Margarito Khamis mempertanyakan permasalahan mekanisme pengelolaan dan juga pihak yang menggunakan anggaran jika ingin merealisasikan rencana Program Pembangunan Daerah Pemilihan atau dana aspirasi.
Menurutnya, DPR tidak memiliki dasar hukum ataupun kualifikasi yang telah diatur dalam Undang-Undang Keuangan negara untuk melakukan hal itu. Dan persoalan mekanisme pengelolaan dan penggunaan patut dipertanyakan
"Siapa nanti yang menjadi KPA (kuasa pengguna anggaran), lalu siapa yang jadi PPATK (pusat pelaporan dan analisis transaksi keuangan) jika DPR merealisasikan dana aspirasi ini. Apakah tiba-tiba mereka datang, lalu bagi-bagi uang. Bagaimana mekanismenya?," kata Margarito pada Republika, Kamis (18/6).
Apalagi, mekanisme penggunaan anggaran negara seperti yang ia jelaskan, telah diatur dalam Undang-Undang Keuangan negara.
Karna tidak memiliki dasar rujukan hukum dan mekanisme pengelolaan anggran yang tepat, Margarito menganggap, DPR tidak memenuhi kualifikasi untuk meluluskan rencana dana aspirasi. "Kecuali para anggota itu (DPR) ingin masuk penjara semua," ujarnya
Sebelumnya, Wakil Ketua DPR RI Fahri Hamzah mengatakan Program Pembangunan Daerah Pemilihan (UP2DP) atau lebih dikenal dengan dana aspirasi adalah wujud dari pelaksanaan tugas konstitusi DPR yang sudah diatur dalam undang-undang maupun sumpah jabatan legislator. Penolakan terhadap dana aspirasi, menurutnya, berarti menolak konstitusi dan melanggar sumpah jabatan DPR.