REPUBLIKA.CO.ID, KUPANG -- Pengamat hukum tata negara dari Universitas Nusa Cendana (Undana) Kupang, Johanes Tubahelan, menyatakan prihatin sekaligus sedih melihat perilaku anggota DPR dan DPD yang terus menguras uang rakyat tanpa tahu malu.
"Benar-benar menyedihkan jika DPR meminta dana aspirasi sampai Rp20 miliar. Itu sama halnya dengan membayar ongkos politik tiap anggota dewan selama masa kampanye pemilu berlangsung," katanya, Rabu (17/6).
DPR mewacanakan dana aspirasi untuk setiap anggota DPR sebesar Rp 20 miliar. Tak hanya DPR, DPD pun meminta anggaran Rp 21 miliar untuk pembangunan gedung kantor DPD di seluruh Indonesia.
Ia mengatakan jika dana aspirasi dan dana pembangunan itu digunakan untuk pemberdayaan ekonomi rakyat, tentu jauh lebih bermanfaat dan berdayaguna bagi masyarakat.
"DPR dan DPD sudah buta matanya dan tuli telinganya untuk melihat dan mendengar alunan melodi jeritan kemiskinan dari rakyat akibat dampak dari kenaikan harga BBM," ujarnya.
Mantan ketua Ombudsman RI Perwakilan NTT-NTB itu mengatakan seharusnya DPR dan DPD tahu diri dalam menggunakan anggaran negara, karena rakyat yang diwakilinya sebagian besar masih hidup di bawah garis kemiskinan.
"Komitmen mereka untuk menyuarakan aspirasi rakyat, patut dipertanyakan. Namun, dengan kasus ini, seharus membuat rakyat lebih dewasa dalam memilih wakil-wakilnya yang duduk di parlemen maupun senat," kata Tubahelan.
Sementara itu, pengamat politik dari Universitas Muhammadiyah Kupang, Ahmad Atang, yang dihubungi secara terpisah menilai, sikap tersebut menggambarkan DPR hanya mementingkan dirinya sendiri, bukan sebagai transformatif perubahan dalam membela kepentingan rakyat.
"Sikap DPR tersebut mengindikasikan motivasi mereka menjadi wakil rakyat hanya untuk mencari kekayaan, dan mengumpulkan harta. Angka Rp 20 miliar itu sebagai salah satu contoh kasus, karena nilai uangnya bukanlah sedikit," ujarnya.