REPUBLIKA.CO.ID, Menurut Didik, bila mengkaji pada majalah yang memakai aksara dan menggunakan bahasa Jawa yang terbit pada tahun 1910-an, di sana tergambar bahwa kerajaan Mataram, baik yang berada di Surakarta maupun Yogyakarta merupakan pelindung ajaran dan umat Islam. Tampaknya, bila Raja Pakubuwono di Surakarta saat itu menjadi pelindung Syarikat Islam, maka Sultan Hamengku Buwono yang ada di Yogyakarta secara tidak langsung mendukung gerakan Muhammadiyah.
“Ini masuk akal. Sebab pada saat itu antara Kraton Surakarta dan Jogjakarta saling berebut pengaruh. Majalah beraksara dan berbahasa Jawa 'Wali Songo' yang saat itu terbit dengan gamblang menuliskan bahwa para raja di Jawa itu mendukung dan memposisikan dirinya sebagai pelindung ajaran serta umat Islam. Hal yang sama juga ditulis oleh 'Majalah Adil' yang terbit pada tahun 1916,” kata Didik Pradjoko.
Ekspresi dari kedua penguasa kraton terhadap pergerakan Islam terbaca jelas meski dengan nuansa yang agak berbeda. Ini misalnya, Raja Paku Buwono ke X menyediakan Taman Sriwedari untuk Konggres Syarikat Islam sewaktu HOS Cokroaminoto terpilih sebagai ketuanya. Bahkan putra mahkota Paku Buwono X sempat terpilih sebagai pemimpin wilayah Syarikat Islam cabang Jawa Tengah.
“Sedangkan di Jogjakarta Sultan Hamengkubuwono VII pun sama. Dia membiarkan atau bersikap adem ayem saja atas adanya gerakan pembaruan yang di lakukan Ahmad Dahlan. Kebetulan juga cara bergerak Kiai Dahlan ti dak ekstrem menyerang kekuasaan kolonial seperti Syarekat Islam itu. Dia tampaknya memilih jalan melingkar atau soft melalui ajang pemajuan pendidikan umat,” kata Didik kembali.
Meski gerakan KH Ahmad Dahlan terkesan lunak, lanjut Didik, pihak penguasa kolonial Belanda tetap saja mengamati gerak-gerik Dahlan di kampung Kauman. Penasihat pemerintah Hindia Belanda yang merupakan ahli agama Islam, GF Pijper, menuliskan keherannya atas situasi yang terjadi di kampung Kauman yang berada di pusat kekuasaan budaya Jawa. Dia sempat bertanya-tanya mengenai apa yang menjadi penyebab para santri Jawa menjadi begitu terpukau atas ide pembaruan Islam.
“Pijper sempat merasa heran setelah melihat langsung kehidupan kampung kauman. Dia bingung ketika tahu di malam hari terdengar ramai suara orang mengaji. Selain itu, dia juga tak habis berpikir ternyata di balik tembok kraton dan di bawah sinaran lampu minyak di malam hari, banyak sekali orang yang sibuk belajar membaca Alquran. Jadi Pijper tak percaya bila bayak sekali santri Jawa yang terpikat begitu kuat oleh ide ajaran kebangkitan Islam,” tegas Didik.
Sikap yang sama juga datang dari sejarawan asal Universitas Chiba Jepang yang meneliti mengenai Muhammadiyah, Mitsuo Nakamura. Dalam disertasinya yang berjudul 'Bulan Sabit Muncul Dari Balik Pohon Beringin' menuliskan bahwa budaya Indonesia, yakni Jawa, ternyata bisa melahirkan budaya Islam (santri) yang kuat.
“Mistsuo melambangkan bulan sabit sebagai lambang gerakan Islam sedangkan pohon beringin melambangkan budaya Jawa. Jadi dia pun mengakui fenomena bahwa budaya Jawa ternyata telah bisa melahirkan gerakan pembaruan Islam yang kuat. Jadi apa yang dilihat oleh Pijper juga dilihat oleh Nakamura,” kata Didik.