Sabtu 06 Jun 2015 16:33 WIB

Kesalahan Jokowi dan Polemik Kelahiran Sukarno

M Akbar Wijaya
Foto: .
M Akbar Wijaya

Oleh: M Akbar Wijaya

Redaktur Republika

Polemik soal kota kelahiran Sukarno kembali menyeruak. Musababnya pidato Presiden Joko Widodo (Jokowi) saat peringatan hari lahir Pancasila di Blitar 1 Juni lalu. Dalam pidatonya Jokowi menyebut Sukarno lahir di Blitar. Bukan di Surabaya sebagaimana yang disebutkan Sukarno. “Setiap kali saya berada di Blitar. kota kelahiran proklamator kita, bapak bangsa kita, penggali Pancasila, Bung Karno, hati saya selalu bergetar,” kata Jokowi di awal pidatonya.

Pernyataan Jokowi sontak menjadi kontroversi di masyarakat. Ada yang membenarkan. Tak sedikit yang menyalahkan. Kontroversi semakin ramai lantaran sejumlah sejarawan gaek yang dianggap memiliki legitimasi menilai masa lampau justru terkesan gelagapan saat diminta menyajikan bukti primer kota kelahiran Sukarno. Alhasil masyarakat larut dalam perdebatan ngalor-ngidur tak berujung.

Mencari bukti di kota mana Sukarno lahir sebenarnya tidak lah susah. Salah satu bukti itu ada di dalam autobigrafi Sukarno Penyambung Lidah Rakyat karya Cindy Adams. Buku ini dianggap sebagai sumber sejarah primer paling otentik tentang kehidupan Sukarno dari lahir hingga kemerdekaan Indonesia. Sebab cerita dalam buku ini berasal dari penuturan langsung Sukarno kepada Cindy.

Di buku ini Sukarno mengatakan dirinya lahir pada 6 Juni 1901 di bawah naungan zodiac bintang Gemini. Ayahnya bernama Raden Soekemi Sosrodihardjo bekerja sebagai guru. Ibunya Idayu Nyoman Rai ialah keturunan bangsawan kasta brahmana yang masih keponakan raja Singaraja Bali.

Soekemi bertemu Idayu saat bertugas di Bali. Keduanya kemudian pindah ke Surabaya dan melahirkan Sukarno. “Karena merasa tidak disenangi di Bali, Bapak kemudian mengajukan permohonan kepada Departemen Pengajaran untuk pindah ke Jawa. Bapak dipindah ke Surabaya dan di sanalah aku dilahirkan,” kata Sukarno dalam buku Sukarno Penyambung Lidah Rakyat edisi revisi dan nonrevisi.

Fakta berikut yang menjelaskan Sukarno lahir di Surabaya terdapat dalam buku berjudul Pengukir Jiwa Sukarno. Buku ini terbit pertama kali pada tahun 1949 dan merupakan salah satu biografi paling awal tentang sejarah hidup Sukarno. Dalam kata pengantarnya, penulis buku ini Soebagijo I.N mengatakan telah mewawancarai langsung ibu Sukarno Idayu Nyoman Rai. Sehingga akurasi informasi dalam buku ini cukup bisa dipertanggungjawabkan. Simak informasi di  buku ini soal kelahiran Sukarno:

“Bayi laki-laki itu dilahirkan di Surabaya pada tanggal 6 Juni tahun 1901 dan oleh ayahnya diberi nama Kusno,” tulis Soebagijo. Buku ini kemudian diterbitkan ulang pada 1978 dengan judul Idayu Nyoman Rai: Bung Karno Anakku.

Kapan Blitar menjadi kota kelahiran Sukarno?

Kesalahan penyebutan kota kelahiran Sukarno mulai terjadi setelah wafatnya Sang Proklamator pada 21 Juni 1970. Ketika itu, dekade 1970-an sejumlah narasi buku sejarah resmi rezim Orde Baru di sekolah mulai menyebut Sukarno lahir di Blitar. Kesalahan ini bisa terjadi karena ketidaksengajaan maupun kesengajaan.

Ketidaksengajaan di sini misalnya karena saat itu masih sedikit sekali buku sejarah yang menceritakan kehidupan dan perjuangan Sukarno. Satu-satunya referensi dianggap paling mumpuni adalah buku Sukarno Penyambung Lidah Rakyat yang terbit pertamakali pada 1966.

Persoalan kemudian muncul karena para penulis tidak cermat menyadur isi buku Cindy Adams. Para penulis sepertinya terkecoh dengan gaya penulisan Cindy mengenai sejarah kelahiran Sukarno.

Di bab awal Sukarno Penyambung Lidah Rakyat, Cindy memang tidak mau langsung menyebut kota kelahiran Sukarno. Ia lebih memilih menceritakan mitos-mitos di seputar kelahiran Sukarno. Cindy misalnya menceritakan kepercayaan Idayu bahwa anaknya akan menjadi pemimpin karena dilahirkan menjelang matahari terbit.

“Ibu katakan kepadamu, kelak engkau akan menjadi orang yang mulia, engkau akan menjadi pemimpin dari rakyat kita, karena ibu melahirkanmu jam setengah enam pagi di saat fajar mulai menyingsing,” ujar Sukarno mengenang ucapan ibunya.

Cindy juga bercerita soal karakter dan kepribadian Sukarno yang berzodiak Gemini. Mitos terakhir yang diceritakan Cindy adalah tentang meletusnya Gunung Kelud di hari kelahiran Sukarno. Menurut Sukarno sejumlah orang yang mempercayai takhyul beranggapan letusan Gunung Kelud merupakan sambutan atas kelahirannya. “Orang yang percaya kepada tahayul meramalkan, ini adalah penyambutan terhadap bayi Sukarno,” ujarnya.

Hal menarik dari cerita letusan Gunung Kelud adalah pernyataan Sukarno bahwa letak gunung tidak jauh dari kediamannya. Pernyataan inilah yang agaknya ditafsirkan sejumlah penulis sebagai Blitar yang secara geografis berdekatan dengan Gunung Kelud. Tafsir itu kemudian kian mendapat pembenaran karena kedua orang tua Sukarno memiliki rumah di Blitar, mereka juga dimakamkan di Blitar bersama Sukarno. “Masih ada pertanda lain ketika aku dilahirkan. Gunung Kelud, yang tidak jauh letaknya dari tempat kami,” kata Sukarno.

Meski begitu bukan tidak mungkin ada unsur kesengajaan (politis) atau pembiaran pemerintah di balik kesalahan penulisan Blitar sebagai kota kelahiran Sukarno. Alasannya pemerintah Orde Baru membutuhkan legitimasi “historis” untuk mendukung keputusan Presiden Soeharto memakamkan Sukarno di Blitar. Sebab ketika itu Sukarno dalam wasiatnya meminta dimakamkan di kawasan Bogor. Para pendukung Sukarno menilai keputusan Soeharto memakamkan Sukarno di Blitar bertujuan menjauhkan Sukarno dari rakyat Jakarta.

Suka tidak suka sosok Sukarno masih memiliki pengaruh kuat di Indonesia. Kesalahan seorang presiden menyebut tempat kelahiran Sukarno bukan tidak mungkin menimbulkan pengaruh serius bagi perjalanan sejarah bangsa ini ke depan. Bisa saja misalnya pembelokan sejarah Sukarno seperti yang kerap terjadi di era Orde Baru kembali terulang. Dan bukan hal mustahil proses desukarnoisasi kembali terjadi.

Jokowi tidak bisa menganggap enteng kesalahan penyebutan nama kota kelahiran Sukarno. Sebab Sukarno beserta ajaran-ajarannya merupakan aset besar yang dimiliki bangsa ini. Sukarno adalah bagian penting dari sejarah bangsa ini. Dia ibarat gerbang utama bagi siapa saja yang hendak mempelajari sejarah perjuangan Bangsa Indonesia.

Jokowi harus meminta maaf langsung kepada seluruh rakyat Indonesia atas kesalahannya. Jokowi juga sebaiknya segera meresmikan rumah kelahiran Sukarno di jalan Pandean IV, Surabaya, sebagai museum bagi masyarakat umum. Dia juga harus segera menarik buku-buku sejarah di sekolah yang masih menyebut Sukarno lahir di Blitar.

Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa pahlawannya. Bukankah sangat menyedihkan apabila bangsa sebesar Indonesia tidak memiliki pondasi yang jelas dan ajeg mengenai kota kelahiran proklamator kemerdekaannya? Selamat ulang tahun Bung Karno 06 Juni 1901.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement