REPUBLIKA.CO.ID, BANDUNG -- Koperasi seharusnya menjadi kekuatan ekonomi nasional. Namun banyak masyarakat yang kurang peduli dengan perkembangan koperasi dan lebih mengerti ekonomi kapitalistik. Padahal, koperasi merupakan salah satu senjata dalam menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) yang sebentar lagi berlangsung.
Rully Indrawan, Wakil Ketua Umum Dewan Koperasi Indonesia (Dekopin), mengungkapkan keprihatinannya mengenai perkembangan kopersai saat ini. Padahal, menurutnya, para pelaku usaha, bila tidak bergabung dalam koperasi maka sulit untuk bertahan.
“Ini cukup menyedihkan ya. Koperasi ini mulai dijauhi oleh anak-anak muda, karena mereka tidak paham, tidak mengerti tentang koprasi. Kita prihatin, karena di masa depan, dengan pasar yang begitu luas, kita tidak mungkin bersaing dengan negara-negara tetangga. Pelaku usaha kita ke depan itu, kalau tidak bergabung di koperasi, mereka akan kalah bersaing,” ujar Rully Indrawan ketika ditemui dalam pembukaan Cooperative Fair di Bandung Rabu (3/6) lalu.
Menurutnya, negara lain memiliki keuntungan dan kesempatan yang lebih besar karena tingkat suku bunga yang lebih rendah dibandingkan Indonesia. Dampak dari perbedaan tingkat suku bunga tersebut, biaya produksi negara lain menjadi lebih efisien. Ditambah dengan biaya birokrasi yang lebih efisien.
Rully juga mengungkapkan kekhawatirannya menjelang MEA. Menurutnya, pelaku ekonomi Indonesia akan tertinggal karena perbedaan suku bunga yang jauh. Akibatnya, menurut Rully, pelaku ekonomi Indonesia akan mengalami defisit lebih banyak.
“Dibandingkan dengan Singapura atau Malaysia, tingkat suku bunga mereka itu hanya tiga persen. Dan Kredit Usaha Rakyat kita 22%. Belum apa-apa, pelaku usaha kita itu sudah defisit berapa belas persen. Ditambah kalau menjual ke kota-kota besar, biaya prosedir kita tidak efisien. Lebih mahal ketimbang Singapura, Malaysia, dan Thailand sekitar 17 %. Jadi kita belum apa-apa sudah defisit banyak sekali,” paparnya.
Karena kalahnya tingkat suku bunga perbankan itu lah, menurut Rully, salah satu usaha yang bisa dilakukan adalah melakukan kerjasama . Bila tidak, Rully menambahkan, ada kemungkinan Indonesia akan seperti ketika ACFTA (ASEAN Free Trade Area), dimana sekitar 360 komoditi Indonesia hancur di pasaran karena tidak sanggup bersaing dengan komoditi China.
“Agar tidak seperti itu lagi, salah satu solusinya adalah dengan koperasi. Dengan koperasi, skala ekonomi bisa menjadi besar. Hal itu karena modal didatangkan dari internal sendiri, lewat simpanan-simpanan. Kalau koperasi itu ditinggalkan, maka dengan sendirinya kita akan kalah dibanding negara-negara ASEAN lainnya,”
Karena itu, Rully menyarankan agar pemerintah, lembaga pendidikan, dan pihak terkait untuk memperhatikan detail untuk sosialisasi pendidikan koperasi di sekolah-sekolah agar para pelajar memiliki bekal mengenai bagaimana sebaiknya berusaha di dalam sebuah semangat dan institusi yang kolektif.